Pages - Menu

Selasa, Januari 26, 2010

Macam Wisata Budaya Tulungagung

1. Upacara Jamasan Kyai Upas

Kyai Upas adalah nam pusaka Kabupaten Tulungagung secara turun temurun diakui sebagai lambang kebesaran. Pusaka ini setiap tahun pada hari Jum’at Legi di bulan Suri (Muharam) dimandikan secara sakral.
Upacar ini dimulai dengan arak-arakan dari Pendopo Kabupaten, menuju Pendopo Kanjengan. Sesampainya di Kanjengan di sambut dengan gamelan monggang. Upacara jamasan dengan profesi tertentu dengan beraneka ragam sesaji. Setelah jamasan diadakan beberapa hiburan diantaranya tembang mocopat, wayang kulit dan kesenian tradisional lainnya.

2. Suru Wekasan

Suro Wekasan adalah upacara “laku” yang dilaksanakan masyarakat Wajak yaitu laku menelusuri Candi Dadi berdoa untuk keselamatan diri, keselamatan lingkungan, sampai keselamatan bangsa dan negara. Keistmewaan upasara ini adalah dilakukan oleh berbagai pemeluk agama yang dianut masyarakat Wajak (Islam, Kristen, Budha)untuk berdoa menurut agama serta keyakinan masing-masing dikomplek Candi Dadi. Upacara ini dilakukan setiap akhir bulan suro.

3. Tematen Kucing

Upacara ini dilaksanakan di air terjun Cuban Rondo yang di yakini dapat melancarkan aliran mata air di Cuban Rondo untuk irigasi penduduk Pelem dan sekitarnya. Proses ini dilakukan dengan subyek dua ekor kucing (Tirta Sari dan Joko Wono) dikawinkan dengan prosesi lazimnya manusia menjadi temanten. Mbah Sangkrah orang yang pertama melaksanakan ritual ini dilanjutkan M bah Sutomeja sampai sekarang.

4. Labuh Sembonyo

Labuh Sembonyo yang diyakini masyarakat sebagai wahana “asok glondhong pengareng-areng” terhadap Ratu Kidul penguasa laut selatan Labuh Sembonyo diselenggarakan etiap bulan Suro minggu kedua di Pantai Popoh.

5. Ulur-ulur

Ulur-ulur merupakan upacara adat yang di selenggarakan di telaga Buret setiap tahun pada hari Jum’at Legi bulan Suro. Kegiatan pokok adalah memandikan arca Dewi Sri Sedono dan tabur bunga di Telaga Buret petilasan Eyang Jigang Joyo dalam mitos sebagai seorang tokoh perintis pemanfaatan air telaga Buret untuk pertanian di Desa Sawo, Gedangan, Ngentrong dan Gamping. Pada upacara tersebut ada kegiatan “Ngelampet” yaitu membendung air telaga yang dilaksanaka dengan gotong-royong untuk irigasi. Cultur ini masih melekat dimasyarakat Sawo dan sekitarnya sampai sekarang berupa kegiatan gugur gunung dan bersih desa.

© http://wisatatulungagung.indonesiatravel.biz/wisata-dan-budaya/macam-wisata-budaya/

PON Riau 2012 Upayakan Skema Publikasi Berskala Nasional

Perhelatan PON Riau 2012 mendatang semakin dekat. Sekitar 2 tahun lagi, panitian PON ke 18 dinilai perlu menerapkan skema promosi dan publikasi secara nasional. Skema promosi dan publikasi yang telah dilakukan SIWO PWI ini telah diterapkan disejumlah ajang olahraga setingkat PON, SEA Games, Asian Games, Sepakbola Piala Eropa, Piala Dunia dan berbagai event internasional dan nasional.



Hal ini diungkapkan oleh Ketua SIWO PWI Pustat, Raja Parlindungan Pane, kepada wartawan di Pekanbaru Riau dalam diskusi panel kilas balik dan prospektif menuju PON ke 18 Riau 2012 mendatang.


"Meliput kegiatan yang multi event seperti PON ini merupakan tantangan tersendiri bagi para wartawan. Sehingga SIWO PWI telah menerapkan skema yang memaksimalkan peran media untuk mencapai gema PON Riau ini ke seluruh provinsi. Sehingga, gema pelaksanaannya tidak hanya berdampak lokal saja,"ungkap Raja Parlindungan Pane.

Berdasarkan pengalaman, Raja P Pane menyatakan, SIWO PWI sedikitinya mencatat 11 poin penting untuk mengumandangkan PON ke 18 di Riau ke seluruh provinsi sejak dini. Diantaranya adanya kehadiran press center, tabloid atau majalah khusus PON, website, press tour, seminar dan diskusi, liputan khusus, media lokal, training, peran SIWO Riau dan SIWO Pusat, sekretariat humas di Jakarta hingga menciptakan lagu tentang PON ke 18 nantinya.

"Hal ini perlu diterapkan agar gema PON di Riau akan merata secara nasional di seluruh provinsi. Jika perlu, gema PON di Riau juga terdengar hingga negara tetangga yang relatif dekat dengan Riau,"ungkap Raja Pane.

Namun Raja Pane menegaskan penerapan skema publikasi ini tergantung dari kerjasama pantia PON dan media yang mesti berjalan sebelum waktu mendesak jelang palaksanaan PON ke 18 pada 2012 mendatang.

Source:riauinfo.com

Tari Saman, Goyang Sunda, dan Wisata

Pariwisata di mana saja membutuhkan tarian untuk memeriahkan dan menghangatkan suasana. Selain itu, gerakan-gerakan tari pada umumnya merupakan simbol-simbol yang bermakna mengenai bagaimana mereka menjalani kehidupan. Ketika berlangsung Vakantiebeurs 2010, pekan promosi wisata terbesar di Utrecht, Belanda, 12-17 Januari 2010, keberadaan tarian menjadi sangat penting dan berdaya tarik kuat.

Stan Indonesia menjadi penuh sesak ketika pertunjukan tarian dan lagu-lagu daerah yang merupakan bagian dari daging budaya kita ditampilkan. Indonesia punya beragam etnik dan budaya. Tariannya pun bermacam-macam, mulai tari saman yang religius, sasando, hingga jaipong yang menampilkan gerakan 3G, yakni goyang, geol (gerakan pinggul), dan gitek (gerakan bahu).

Semua tarian Nusantara mendapat sambutan dan apresiasi luar biasa dari pengunjung Vakantiebeurs yang diikuti 160 negara. Para pengunjung tidak beranjak dari stan ekshibisi Indonesia sampai ekshibisi budaya selesai.

”Saya suka dengan tarian-tarian Indonesia. Tapi, banyak sekali jumlahnya. Yang jelas saya suka tarian Bali dan Maluku,” kata Gerard, warga Belanda yang meluangkan waktu berjam-jam di stan Indonesia untuk menyaksikan ekshibisi budaya Indonesia.

Suasana bertambah semarak ketika ditampilkan tarian dan lagu yang penuh semangat, seperti "Uhate" dan "Hela Rotane", keceriaan terlihat di antara penonton. Tepuk tangan gemuruh. Bahkan, ketika putra-putri Indonesia menampilkan tarian Sunda dalam gendang rampak dan topeng rehe, spontan bule-bule itu bersemangat dan masuk arena untuk ikut berjoget, mengimbangi gerakan 3G, goyang, geol, dan gitek.

Gerakan 3G dari tarian tradisional Sunda ini memang ditunggu banyak pengunjung karena sempat menimbulkan pro-kontra di Bandung, ibu kota asal tarian jaipongan. Pihak yang menentang menilai gerakan 3G terlalu kasar dan erotis.

Sambutan yang luar biasa itu membuat stan Indonesia sangat ramai. Stan-stan negara lain menjadi sepi. Petugas stan lain merasa terganggu dan mengaku sulit melakukan transaksi bisnis wisata.

Ekshibisi budaya Indonesia yang berlangsung pada hari kedua pameran, Rabu (13/1/2010), itu pun diprotes pengelola stan negara lain. Mereka melancarkan protes kepada panitia Vakantiebeurs. Dan, panitia selanjutnya menegur penyelenggara pertunjukan budaya Indonesia.

”Kami diingatkan pagi hari, siang, dan sore. Panitia mengancam akan mencabut listrik. Kami diminta tidak menyelenggarakan ekshibisi yang mengeluarkan suara keras, melebihi 80 db. Tapi semua alat ini kan didesain untuk suara keras. Tanpa pengeras suara, alat kami ini sudah keras,” kata Agus Safari, Koordinator Pertunjukan Indonesia di Vakantiebeurs, sambil menunjuk alat musik gending, gambang, bonang, dan perkusi.

Pihak Indonesia akhirnya mengambil jalan tengah dalam ”perselisihan” ini. Mulai hari ketiga, ekshibisi budaya tidak lagi menggunakan tetabuhan keras. Tarian dan lagu-lagu yang ditampilkan pun dipilih yang lembut-lembut, seperti kliningan (sunda) dan sasando. Suasananya menjadi kurang meriah.

Meskipun demikian, pengunjung tetap berjubel dan menanti tari-tarian keras dan bersemangat. Kadang-kadang, para musisi dan penari dari Sanggar Robot Percussion, Bandung, ini lupa membawakan musik lembut. Musik etnik kreatif yang keras kembali mengentak panggung di salah satu stan Indonesia yang khusus digunakan untuk ekshibisi budaya.

Ekshibisi budaya Indonesia kembali bermain penuh pada acara Indonesian Night di panggung besar (untuk umum) Vakantiebeurs, Jumat. Semua musisi dan penari, termasuk dari Maluku dan Nusa Tenggara Timur, bergabung dan tampil di panggung ini di depan pengunjung Vakantiebeurs, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik, serta masyarakat Indonesia di Belanda.

Penampilan tarian-tarian Nusantara ini terasa pas karena tema pekan promosi wisata kali ini adalah ”Meet the Local”, pertemuan berbagai budaya dan orang lokal di panggung Vakantiebeurs. Dan, Indonesia sebagai partner utama negara tuan rumah.

Representasi Indonesia?

Dari sekian banyak tarian yang ditampilkan di Vakantiebeurs, ada satu tarian yang dipertanyakan apakah masih merupakan representasi Indonesia atau tidak.

Pertanyaan itu mengemuka ketika tarian saman dijadikan pembuka acara jumpa pers Indonesia.

Dalam temu pers itu tampil sebagai narasumber Duta Besar RI untuk Belanda JE Habibie, Direktur Jenderal Pemasaran pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI Sapta Nirwandar, dan Atase Kebudayaan KBRI di Belanda selaku moderator.

Ketika sesi tanya jawab dibuka, seorang wartawan Belanda angkat tangan dan mengajukan pertanyaan. Mengapa tari saman dipilih untuk mengawali jumpa pers? Apakah tari saman merupakan representasi dari Indonesia? Bukankah Aceh merupakan provinsi yang menerapkan hukum syariah? Bagaimana dengan kehidupan pariwisata yang diawasi dengan hukum syariah?

Pertanyaan pertama ini langsung dijawab JE Habibie dalam bahasa Belanda.

Menurut Habibie, Aceh dan tari samannya merupakan bagian dari Indonesia. Banyak tarian-tarian lainnya yang menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia. Indonesia itu luas dengan keragaman budaya yang luas pula. Hukum syariah memang diterapkan di Aceh, tetapi secara keseluruhan keamanan terjamin.

”Penganut agama Islam di Indonesia terkenal dengan toleransi tinggi terhadap penganut agama di luar Islam. Indonesia aman. Tidak ada alasan untuk tidak datang ke Indonesia,” kata Habibie.

Ada kekhawatiran dari mereka hukum syariah dijadikan untuk mengontrol kegiatan wisatawan yang memasuki wilayah Indonesia.

Sumber: http://travel.kompas.com

Senin, Januari 25, 2010

Kalbar Akan Membangun Rumah Adat Khas Dayak Baru

budaya kalimantan baru

"Saat ini baru memulai pembangunan tugu, sebagai simbol utama di lahan itu. Bentuknya berupa tiang sandung (khas Dayak Kapuas Hulu), yang di atasnya bertengger burung enggang," ujar Ivo kepada Tribun.

Sebuah tugu yang anggaranya diperkirakan menghabiskan dana di atas Rp 100 juta, mulai dibangun di lahan enam hektar di Jl Trans Kalimantan, Kalimantan Barat. Tugu tersebut merupakan simbol akan adanya sebuah rumah betang baru, yakni rumah adat khas Dayak.

Awalnya, Panitia Persiapan dan Pembangunan Rumah Adat Dayak (P2RAD) Kalbar sudah terbentuk sejak September 2005 silam. Mereka merencanakan pendirian rumah adat Dayak yang baru.

Ketua P2RAD Kalbar, Herman Ivo, Jumat (22/1/2010) menuturkan, dana segar yang sudah terhimpun baru sejumlah sekitar Rp 3 miliar, yang sebagian sedang diputar untuk sejumlah usaha yang mendukung penambahan pemasukan. Jumlah tersebut masih sangat jauh dari angka yang ditargetkan Rp 39 miliar.

Ia bertekad mengejar realisasi target setidaknya Rp 10 miliar, agar pembangunan rumah betang bisa dimulai. Bulan ini diprogramkan untuk sosialiasi efektif ke lembaga keuangan Credit Union (CU) yang tersebar di Kalbar dan juga dengan pemerintah daerah.

Rencana mendirikan rumah adat baru, dikarenakan rumah betang yang ada sekarang di Jl Sutoyo Kota Pontianak, dalam kondisi tua dan tidak representatif lagi. Lokasi yang baru terletak di Jl Trans Kalimantan, Kuala Ambawang, dengan luas lahan 6 hektar merupakan bantuan dari Pemprov Kalbar melalui APBD 2006.

Dana dihimpun, di antaranya dengan cara penjualan sertifikat. Kategorinya mulai dari sertifikat ekslusif dengan harga Rp 1 juta per lembar, sampai sertifikat standar yang berkisar Rp 10 ribu, Rp 25 ribu, dan Rp 50 ribu per lembar.

Selain itu, sejumlah unit usaha dibuka, seperti rumah makan khas Dayak maupun dari penjualan aksesoris di galeri seni, yang dibuka di rumah betang, Jl Sutoyo. Rumah adat yang baru, selain sebagai pusat aktivitas budaya, juga dikonstruksikan sebagai lokasi wisata.

"Akan kami bangun taman yang luas di sekitar rumah betang yang baru. Semacam hutan kecil yang memanfaatkan sekitar 50 persen dari total area," kata Ivo.

Juga ada balai pertemuan untuk berbagai kegiatan, maupun unit usaha berbasis budaya, sehingga diharapkan bisa mandiri secara ekonomis. Bakal dilengkapi juga dengan berbagai macam benda budaya, kerajinan tangan, dan situs-situs yang ada di masyarakat seperti barang antik.

"Apabila rumah betang itu sudah jadi, berbagai kegiatan tradisional seperti mengayam, tenun, ataupun seni pahat, akan digelar setiap saat. Pengunjung dari luar bisa menyaksikan replika aktivitas budya orang Dayak," tutur Ivo.

Rumah Betang yang sudah ada selama ini di Jl Sutoyo merupakan aset Pemprov Kalbar. Dibangun sekitar 1977, didesain oleh tokoh Dayak, Yacob Lomon, yang saat itu menjabat anggota DPRD Kalbar.

Selama ini jumlah pengunjung signifikan, tetapi Rumah Betang itu kosong. Tak ada yang bisa ditunjukkan, sehingga pengunjung hanya berfoto dengan latar ornamen khas Dayak yang ada di tiang dan dinding
sumber:kompas.com

Sejarah Gamelan Jawa dan Perkembangannya



Bagi masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan kesehariannya. Dengan kata lain, masyarakat tahu benar mana yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan. Mereka telah mengenal istilah 'gamelan', 'karawitan', atau 'gangsa'. Namun barangkali rnasih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah perkembangan gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa?.

Seorang sarjana berkebangsaan Belanda bernama Dr. J.L.A. Brandes secara teoritis mengatakan bahwa jauh sebelum datangnya pengaruh budaya India, bangsa Jawa telah rnemiliki ketrampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889):

(1) wayang,
(2) gamelan,
(3)ilmu irama sanjak,
(4) batik,
(5) pengerjaan logam,
(6) sistem mata uang sendiri,
(7) ilmu teknologi pelayaran,
(8) astronomi,
(9) pertanian sawah,
(10) birokrasi pemerintahan yang teratur

Sepuluh butir ketrampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa Hindu dari India. Kalau teori itu benar berarti keberadaan gamelan dan wayang sudah ada sejak jaman prasejarah. Namun tahun yang tepat sulit diketahui karena pada masa prasejarah masyarakat belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti-bukti tertulis yang dapat dipakai untuk melacak dan merunut gamelan pada masa prasejarah.

Gamelan adalah produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, namun wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antar bangsa terjadi kontak budaya maka keseniannya pun juga ikut berkontak sehingga dapat terjadi satu bangsa akan menyerap atau mengarn bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi seternpat. Oleh karena itu sejak keberadaan gamelan sampai sekarang telah terjadi perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.

Istilah “karawitan” yang digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai "karawitan" berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus atau rumit. Konon, di lingkungan kraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian seperti: tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002:5¬6).

Dalarn pengertian yang sempit istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut (Supanggah, 2002:12):
(1) menggunakan alat musik gamelan - sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog - sebagian atau semuanya.
(2) menggunakan laras (tangga nada slendro) dan / atau pelog baik instrumental gamelan atau non-gamelan maupun vocal atau carnpuran dari keduanya.

Gamelan Jawa sekarang ini bukan hanya dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah 'mendunia'. Oleh karna itu cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malahan tidak mau peduli terhadap seni gamelan atau seni karawitan pada khususnya atau kebudayaan Jawa pada umumnya. Bangsa lain begitu tekunnya mempelajari gamelan Jawa, bahkan di beberapa negara memiliki seperangkat gamelan Jawa. Sudah selayaknya masyarakat Jawa menghargai karya agung nenek moyang sendiri.
Sumber data tentang gamelan

Kebudayaan Jawa setelah masa prasejarah memasuki era baru yaitu suatu masa ketika kebudayaan dari luar -dalam hal ini kebudayaan India- mulai berpengaruh. Kebudayaan Jawa mulai memasuki jaman sejarah yang ditandai dengan adanya sistem tulisan dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari perspektif historis selama kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi kebudayaan Jawa, mendapat pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. Tampaknya unsur-unsur budaya India juga dapat dilihat pada kesenian seperti gamelan dan seni tari. Transformasi budaya musik ke Jawa melalui jalur agama Hindu-Budha.

gamelan_band2Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan di dalam sumber verbal yakni sumber - sumber tertulis yang berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Budha dan sumber piktorial berupa relief yang dipahatkan pada bangunan candi baik pada candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 sampai abad ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai abad ke¬15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh - tabehan” (bahasa Jawa baru 'tabuh-tabuhan' atau 'tetabuhan' yang berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul). Zoetmulder menjelaskan kata “gamèl” dengan alat musik perkusi yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa ada kata “gèmbèl” yang berarti 'alat pemukul'. Dalam bahasa Bali ada istilah 'gambèlan' yang kemudian mungkin menjadi istilah 'gamelan'. Istilah 'gamelan' telah disebut dalam kaitannya dengan musik. Namur dalam masa Kadiri (sekitar abad ke¬13 Masehi), seorang ahli musik Judith Becker malahan mengatakan bahwa kata 'gamelan' berasal dari nama seorang pendeta Burma dan seorang ahli besi bernama Gumlao. Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah 'gamelan' dijumpai juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan, namun ternyata tidak.
Gambaran instrument gamelan pada relief candi

Pada beberapa bagian dinding candi Borobudur dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.

Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke - 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu relief gong besar dijumpai di candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur; dan di pandapa teras relief gambang, reyong, serta simbal. Relief bendhe dan terompet ada pada candi Sukuh (abad ke-15 M).

Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1985:42-45). Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti kitab Natya Sastra seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan (Vatsyayan, 1968). Secara keseluruhan kelompok musik di India disebut 'vaditra' yang dikelompokkan menjadi 5 kelas, yakni: tata (instrumen musik gesek), begat (instrumen musik petik), sushira (instrumen musik tiup), dhola (kendang), ghana (instrumen musik pukul). Pengelompokan yang lain adalah:

(1) Avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena dipukul.
(2) Ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri.
(3) Sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup.
(4) Tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.
Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (Ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya” dibakukan dengan menggunakan pola 'tala' yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).

Seni Tenun Songket Melayu Pekanbaru Riau

songket melayu pekanbaru riau

Songket Melayu sebuah karya seni yang indah, selayaknyalah kita menjaga dan melestarikannya. Sebagai generasi muda Pekanbaru Riau kita harus melakukan hal itu. Janganlah terlena dengan tren zaman dengan memakai baku yang tak cukup bahannya alias berdiri nampak pusat dan ketika duduk nampak belahan dadanya. Kali ini saya menyegarkan ingatan kita terhadap Songket Melayu Pekanbaru Riau, dengan cara menghadirkan kembali artikel tentang Songket Melayu yang pernah di publis di blog Attayaya
Tenunan yang lazim di sebut songket itu dalam sejarah yang panjang telah melahirkan beragam jenis motif, yang mengandung makna dan falsafah tertentu. Motif-motif yang lazimnya di angkat dari tumbuh-tumbuhan atau hewan (sebagian kecil) di kekalkan menjadi variasi-variasi yang serat dengan simbol-simbol yang mencerminkan nilai-nilai asas kepercayaan dan budaya melayu.

cara membuat songket melayu pekanbaru riau
Selanjutnya, ada pula sebagian adat istiadat tempatan mengatur penempatan dan pemakaian motif-motif di maksud, serta siapa saja berhak memakainya. Nilainya mengacu kepada sifat-sifat asal dari setiap benda atau makhluk yang dijadikan motif yang di padukan dengan nilai-nilai luhur agama islam. Dengan mengacu nilai-nilai luhur yang terkandung di setiap motif itulah adat resam tempatan mengatur pemakaian dan penempatannya, dan menjadi kebanggaan sehingga diwariskan secara turun temurun .


Orang tua-tua menjelaskan bahwa kearifan orang melayu menyimak islam sekitarnya memberikan mereka peluang besar dalam memilih atau menciptakan motif. Hewan yang terkecil seperti semut, yang selalu bekerja sama mampu membuat sarang yang besar, mampu mengangkat barang-barang yang jauh lebih besar dari badannya, dan bila bertemu selalu berangkulan, memberi ilham terhadap pencintaan motif untuk mengabadikan perihal semut itu dalam motif tersebut sehingga lahirlah motif yang dinamakan motif semut beriring.


Begitu pula halnya denagn itik yang selalu berjalan beriringan dengan rukunnya melahirkan motif itik pulang petang atau itik sekawan. Hewan yang selalu memakan yang manis dan bersih (sari bunga), kemudian menyumbangkannya dengan mahkluk lain dan bentuk madu dan selalu hidup berkawan-kawan dengan damainya melahirkan pula motif lebah bergantung atau lebah bergayut.


Bunga-bungaan yang indah, wangi dan segar melahirkan motif-motif bunga yang mengandung nilai dan filsafah keluhuran dan kehalusan budi, keakraban dan kedamaian seperti corak bunga setaman, bunga berseluk daun dan lain-lain. Burung balam, yang selalu hidup rukun dengan pasangannya, melahirkan motif balam dua setengger sebagai cermin dari kerukunan hidup suami istri dan persahabatan. Ular naga, yang di mitoskan menjadi hewan perkasa penguasa samudra, melahirkan motif naga berjuang serindit mencerminkan sifat kearifan dan kebijakan. Motif puncak rebung dikaitkan dengan kesuburan dan kesabaran. Motif awan larat dikaitkan dengan kelemah-lembutan budi, kekreatifan, dan sebagainya.

contoh bentuk Songket Melayu Pekanbaru Riau

Dahulu setiap pengrajin diharuskan untuk memahami makna dan falsafah yang terkandung di dalam setiap motif. Keharusan itu dimaksudkan agar mereka pribadi mampu menyerat dan menghayati nilai-nilai yang dimaksud, mampu menyebarluaskan, dan mampu pula menempatkan motif itu sesuai menurut alur dan patutnya. Karena budaya melayu sangat ber-sebati dengan ajaran islam, inti sari ajaran itu terpateri pula dengan corak seperti bentuk segi empat dikaitkan dengan sahabat Nabi Muhammad SWT yang berempat, bentuk segi lima dikaitkan dengan rukun islam, bentuk segi enam dikaitkan dengan rukun iman, bentuk wajik dikaitkan dengan sifat Allah yang maha pemurah, bentuk bulat dikaitkan dengan sifat Allah yang maha mengetahui dan penguasa alam semesta, dan sekitarnya. Menurut orang tua melayu Riau, makna dan falsafah di dalam setiap motif, selain dapat meningkatkan minat-minat orang untuk menggunakan motif tersebut, juga dapat menyebar-luaskan nilai-nilai ajaran agama Islam yang mereka anut, itu lah sebabnya dahulu pengrajin diajarkan membuat atau meniru corak.


Orang-orang melayu amatlah menggemari pantun. Orang tua-tua mengatakan bahwa dengan berpantun orang lebih cepat menyimak dan mengingatkan sehingga lebih mudah mewariskannya.
Ungkapan adat mengatakan : ”di dalam pantun banyak penuntun”. selanjutnya di katakannya:


”Bertuah orang berkain songket
Coraknya banyak bukan kepalang
Petuahnya banyak bukan sedikit
Hidup mati di pegang orang”
”Kain songket tenun melayu
Mengandung makna serta ibarat
Hidup rukun berbilang suku
Seberang kerja boleh di buat”
”Bila memakai songket bergelas
Di dalamnya ada tunjuk dan ajar
Bila berteman tulus dan ikhlas
Kemana pergi tak akan terlantar”


Khasanah songket melayu amatlah kaya dengan motif dan serat dengan makna dan falsafahnya, yang dahulu dimanfaatkan untuk mewariskan nilai-nilai asas adat dan budaya tempatan. Seorang pemakai songket tidak hanya sekedar memakai untuk hiasan tetapi juga untuk memakai dengan simbol-simbol dan memudahkannya untuk mencerna dan menghayati falsafah yang terkandung di dalamnya. Kearifan itulah yang menyebabkan songket terus hidup dan berkembang, serta memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Toraja, zamrud di katulistiwa

Ini cerita ringkas dari perjalanan wisata ke Sulawesi Selatan. Mendarat di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, jam satu siang. Terminal bandara itu tampak megah, modern, atapnya selain menjulang tinggi, dikelilingi oleh dinding kaca maka serba transparan. Ketika berada di dalamnya, kita bisa merasa seperti di salah satu bandara di luar negeri.

Program terbaik adalah menginap satu malam di kota Makassar dan menikmati suasana kota sore hari hingga matahari terbenam. Tentu saja ke pantainya yang terkenal : Losari. Esoknya, berangkat jam 8 pagi menuju Tator, singkatan Tana Toraja. Siapa saja yang disapa, sikap ramah akan kita terima. Sulsel memang merupakan salah satu DTW, Daerah Tujuan Wisata, dengan kata lain, merupakan satu di antara untaian zamrud di katulistiwa. Sebutan itu pernah menjadi tag line untuk pariwisata Indonesia ketika berpromosi ke mancanegara, di tahun 1980an.

Sejak dahulu sampai sekarang, jarak 328 KM dari Makassar ke Rantepao, kota kabupaten Tana Toraja, ditempuh antara tujuh sampai delapan jam. Meliwati kota pantai Pare-pare. Saat ini, sepanjang jalan raya dari Makassar sampai Parepare sedang dalam pengerjaan up grading, aspal diganti lapisan beton, tampaknya akan rampung sekitar pertengahan tahun ini. Dapatlah diperkirakan perjalanan akan menjadi lebih singkat, boleh jadi bisa ditempuh sekitar lima jam.

Jarak tempuh dengan mobil lebih tujuh jam itu, selama ini tetap saja dinikmati oleh para wisman. Tana Toraja dengan budaya yang etnik khas, pernah menarik banyak wisman datang dari ujung-ujung dunia di Eropa dan Amerika. Jauh lebih banyak dari sekarang ini. Ya, di masa lalu itu para wisman dari negeri Baratlah yang kebanyakan ditarik oleh magnit Tator. Ketika sama sekali belum ada tempat persinggahan yang ”representative” untuk istirahat atau makan siang, diperjalanan tadi, maka grup wisatawan dalam bus turis disediakan lunch box. Mereka tetap enjoy.

Nah, ketika tiba di Tator, sebelum atau sesudah masuk kota kecil Rantepao, terdapat beberapa hotel berbintang. Hotel non-bintang atau penginapan kecil terdapat lebih banyak. Sore hari pertama sampai malam, wisatawan menikmati kesejukan udara, lingkungan yang rindang, di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.

Esok harinyalah kesempatan berkeliling menghampiri kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Objek wisata pertama, ke desa Palawa. Satu kawasan rumah-rumah adat Toraja, kita lihat ibarat museum hidup. Sederetan rumah adat Toraja, yang berbaris berhadap-hadapan mengelilingi suatu tanah lapang, rumah-rumah itu ditempati oleh penduduk, dan kehidupan dengan adat asli mengalir di situ entah sejak berapa ratus tahun yang lalu.

Penghuni rumah-rumah adat itu akan beramah tamah dengan pengunjung, menceritakan riwayat adat mereka, dan akan menjawab pertanyaan yang diluncurkan oleh hati dan pikiran pengunjung yang niscaya akan penuh ‘curiosity’.

Dari Palawa, usai bercengkerama dan usai mengabadikan dengan kamera tampilan rumah-rumah adat yang atapnya mengerucut menjulang ke langit, kunjungan berikutnya menuju ke desa lain, namanya Londa. Lokasi ini pun seakan magnit yang menarik keingintahuan pengunjung. Itulah perbukitan, yang rimbun menghijau, dan persis di lokasi yang telah menjadi objek wisata itu, sentuhan kepariwisataan memang semakin terasa.

Di bukit Londa, tradisi masyarakat Tator dilaksanakan, di mana keluarga yang telah almarhum, dibuatkan patung yang menampilkan wajah dan postur semasa hidup, lalu patung tersebut ditempatkan di lereng perbukitan Londa, dan goa-goa yang terdapat di bawahnya.

Pengunjung niscayalah ingin memasuki goa. Karena gelap, sekitar 15an orang muda bersiap dengan masing-masing lampu petromaks di tangan mereka. Sewanya Rp 20.000. Tapi jika ingin ditemani sekaligus berfungsi guide, untuk “tur ke dalam gua” maka tips untuk fungsi guide ini ”tidak ada tarif”. Terserah pengunjung.

Berkeliling dan mengapresiasi kehidupan dengan adat istiadat masyarakat Tator, setidaknya bisa dihayati dengan menginap dua malam di kawasan ini. Namun sebagian wisman dari negeri Barat selama ini mengapresiasi kehidupan di Tator dengan tinggal dua sampai tiga hari. Bahkan ada yang lebih lama lagi. Manakala Indonesia dilanda krisis ”image” di pasar internasional, berkaitan isyu keamanan keselamatan sebagai dampak rentetan peristiwa bom teroris, peristiwa Mei 1998 dan seterusnya, kunjungan wisman ke Tator memang anjlok.

Kini saatnya sungguh tepat untuk bangkit kembali. Dimulai dari tersedianya infrastruktur bandara yang megah, dan tak lama lagi, jalan raya lebih mulus dari Makassar hingga Tator.
© http://traveltourismindonesia.wordpress.com/2010/01/25/toraja-zamrud-di-katulistiwa/

Kalimantan Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibu kotanya adalah Banjarmasin.
Provinsi ini mempunyai 11 kabupaten dan 2 kota. DPRD Kalsel dengan surat keputusan No. 2 Tahun 1989 tanggal 31 Mei 1989 menetapkan 14 Agustus 1950 sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan. Tanggal 14 Agustus 1950 melalui Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1950, merupakan tanggal dibentuknya sepuluh provinsi, setelah pembubaran RIS, salah satunya provinsi Kalimantan dengan gubernur Dokter Moerjani

TARIAN DAERAH
1.Tari Randap Rahayu
2.Tari Baksa Kembang
3.Tari Banjar Topeng
4.Tari Banjar Topeng Wayang
5.Tari Banjar Topeng Kelana

ADAT ISTIADAT
Dayak ;
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.
Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.
Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.
menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu.
masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.
Segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.
Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.
Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.
© http://myzamrud.blogspot.com/2010/01/kalimantan-selatan.html

Minggu, Januari 17, 2010

Perubahan Melalui Membaca

Change with Reading (CwR). Itulah tema serangkaian acara untuk menularkan budaya baca yang digelar di Rumah Dunia, Serang, organisasi non-pemerintah untuk pendidikan informal yang didirikan oleh pengarang Gola Gong, pada 9 Januari 2010. Bertujuan menyadarkan masyarakat akan betapa pentingnya membaca, acara itu diisi antara lain dengan pemilihan Duta CwR dari kalangan pelajar SMA se-Provinsi Banten, dan diskusi tentang budaya baca bersama pembicara antara lain Ella Yulaelawati MA, PhD (Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional) dan Endang Eko Koswara (Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten).

Change with Reading, yang berarti perubahan melalui membaca, adalah tema yang memiliki pesan mendalam tentang pengaruh penting membaca untuk transformasi nilai, salah satunya dalam bentuk perubahan. Perubahan bisa berarti positif atau negatif. Dan tentu, dalam hal penularan virus budaya baca, pengertian perubahan itu adalah perubahan yang positif. Peristiwa pendidikan di Rumah Dunia ini, meskipun hanya diikuti sekitar 100 siswa SMA, tetaplah layak diapresiasi. Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang budaya bacanya relatif masih rendah, segala upaya untuk mendongkrak budaya baca tentulah bernilai.

Budaya baca ini penting untuk ditekankan karena membaca merupakan salah satu pintu menuju perubahan dan pemberdayaan diri. Adapun kegiatan membaca, yang bisa ikut berperan dalam perubahan sosial, tak membedakan status sosial-ekonomi masyarakat. Sebuah studi yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development, OECD) melalui program yang disebut Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2006 menunjukkan bahwa remaja dari berbagai kalangan-termasuk dari latar belakang yang paling kurang mampu- dapat lebih cemerlang dari teman-teman sebaya mereka yang lebih kaya jika mereka secara teratur membaca buku-buku, surat kabar, dan komik di luar sekolah. Juga menurut laporan studi “Membaca untuk Perubahan “pada 2007, ditemukan secara signifikan bahwa mendorong membaca untuk kesenangan bisa menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk mewujudkan perubahan sosial.

Temuan lain mengungkapkan bahwa siswa yang sangat terlibat dalam membaca terbukti secara signifikan dapat mencapai nilai di atas skor rata-rata internasional, terlepas dari apa pun latar belakang keluarga mereka. Hal ini membuktikan bahwa walaupun latar belakang sosio-ekonomi sangat berperan, bukan berarti dapat menjadi faktor dominan dalam memprediksi keterlibatan membaca bahan bacaan yang beragam. Penelitian juga menemukan bahwa ketersediaan bahan bacaan di rumah sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan membaca anak. Anak yang memiliki akses ke sejumlah besar buku cenderung lebih tertarik untuk membaca secara meluas.

Sayangnya, studi OECD-PISA pada 2006 menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak Indonesia-mencapai skor 392- masih jauh di bawah kemampuan rata-rata negara-negara OECD, yang mencapai skor 492. Laporan menyangkut budaya baca masyarakat Indonesia ini hanyalah rangkaian riset kesekian yang masih menunjukkan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia masih lemah. Karena itu, dalam hal kemampuan membaca ini, Indonesia harus melongok ke negara-negara lain yang mencapai skor tinggi. Siapa mereka? Skor tertinggi dipegang oleh Korea (556). Berikutnya adalah Finlandia (547), Hong Kong-Cina (536), Kanada (520), dan Selandia Baru (530).

Mengapa minat baca masyarakat di Indonesia dinilai masih rendah? Hari Karyono, dosen pascasarjana Universitas PGRI Adibuana Surabaya, yang pernah melakukan studi dalam hal ini, mengungkapkan sejumlah faktor (sumber libra-ry.um.ac.id, Oktober 2007). Antara lain, masih rendahnya kemahiran membaca siswa di sekolah. Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya, dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas, 2 Juli 2003).

Faktor lain, sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat anak-anak/siswa/mahasiswa harus membaca buku (lebih banyak lebih baik), mencari informasi/pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan, serta mengapresiasi karya-karya ilmiah, filsafat, sastra, dan lain sebagainya. Hal ini karena sistem pendidikan kita mengarah ke ujian akhir. Semua pelajaran ditujukan untuk menyiapkan siswa menghadapi ujian akhir. Alhasil, sedikit sekali rangsangan untuk membaca buku tambahan.

Faktor budaya juga berpengaruh. Budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Kita terbiasa mendengar dan belajar berbagai dongeng, kisah, dan adat-istiadat secara verbal yang di kemukakan orang tua. Anak-anak didongengi secara lisan. Tidak ada pembelajaran (sosialisasi) secara tertulis. Jadi, sebagian masyarakat Indonesia tidak terbiasa mencapai pengetahuan melalui bacaan.

Faktor lain, kurangnya sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman bacaan. Hal ini berkaitan dengan daya beli masyarakat yang masih rendah. Minimnya koleksi buku di perpustakaan, serta kondisi perpustakaan yang tidak memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya minat baca pengunjung yang memanfaatkan jasa perpustakaan, juga menjadi faktor.

Yang perlu digarisbawahi, Hari Karyono menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca masyarakat adalah belum adanya lembaga atau institusi yang secara formal khusus menangani minat baca. Program menumbuhkan minat baca hanya dilakukan secara sporadis oleh LSM, organisasi pencinta buku, organisasi penerbit, dan lain sebagainya, yang tidak terkoordinasi. Sehingga, walaupun potensi sumber daya manusianya ada, mereka belum menjadi kekuatan yang secara sinergis menjadi instrumen yang efektif untuk menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia.

Kritik untuk pemerintah ini perlu didengarkan. Secara perundang-undangan, dorongan pemerintah untuk meningkatkan budaya baca sudah cukup memadai. Namun kritik Hari Karyono itu semoga segera menjadi masa lalu. Sebab, Direktorat Pendidikan Masyarakat sekarang ini melakukan berbagai gebrakan untuk mendongkrak budaya baca masyarakat, antara lain melalui upaya penerbitan Koran Ibu- program yang inovatif-yang bertujuan menjaga keberlanjutan kemampuan baca para aksarawan baru. Upaya lain, melalui pemberian penghargaan bagi pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan Taman Bacaan Masyarakat yang kreatif. Belakangan bahkan Taman Bacaan Masyarakat itu diharapkan tak hanya kreatif, tapi juga rekreatif alias mampu membuat masyarakat “bergairah hidup dan membaca”. Buku Panduan TBM kreatif pun telah diluncurkan. Persoalannya, semua program yang inovatif itu juga membutuhkan dukungan dan pengawasan masyarakat. Di sinilah sinergi antar-masyarakat, baik secara individu maupun organisasi semacam Rumah Dunia, perlu terus dikembangkan. *
© http://arahguru.wordpress.com/2010/01/17/perubahan-melalui-membaca/

Komunitas Adat dan Permasalahannya

Mengacu pada tema makalah yang diminta panitia mengenai “mewujudkan Indonesia Kreatif melalui Pemberdayaan Komunitas Adat”, tidak ada salahnya kita perlu melihat serta memperhatikan tentang visi dan misi Propinsi Jawa Barat, dimana Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat telah menetapkan Visiya yaitu : “ Jawa Barat sebagai daerah Budaya dan Tujuan Wisata Andalan Tahun 2010”. Tentunyan, terkait dengan hal itu, untuk menyikapi visi dan misi tersebut perlindungan adapt istiadat dalam kawasan kampong adapt mutlak perlu dipertahankan.

Kami merasa gembira terselanggaranya Workshop dan Festival Komunitas Adat yang diadakan oleh Badan Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung 2009. Kegiatan ini diharapkan membuka serta membangkitkan kembali wawasan bangsa tentang keberadaan nilai-nilai spiritual dan kearifan local tradisional yang memiliki masyarakat Khususnya masyarakat adat yang terbesar di seluruh Tatar Sunda).

Memperhatikan judul di atas, kiranya begitu banyak yang harus dipaparkan tetapi kami mencoba membatasi dan membahas judul makalah ini dari sudut pandang kami sebagai masyarakat Adat Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat..

Mengenai komunitas adapt dan permasalahannya, kegiatan yang dilakukan oleh kami adalah menjaga harmonisasi hidup dan kehidupan dengan mengedepankan hidup bersama alam di lingkungan sekitar, yang didalamnya termasuk aspek ekonomi, social, budaya dan agama/kepercayaan, sesuai dengan falsafah yang diwariskan leluhur.

Permasalahan yang dihadapi masyarakat adapt khususnya kampong adapt Naga saat ini adalah kesulitan minyak tanah sebagai kebutuhan primer untuk penerangan, akibat kebijakan pemerintah mencabut subsidi minyak tanah karena konversi minyak tanah ke gas. Padahal masyarakat adat kampung Naga sekalipun berada di tengah-tengah era modernisasi/globalisasi kami tetap eksisi terhadap petuah/pepatah leluhur. Sedangkan UUD 1945 Pasal 18 ayat 1 b, sudah jelas pengakuan hak hukum adapt selagi masih hidup.

Sebenarnya masyarakat Kampung Naga mempunyai salah satu falsafah untuk perlindungan budaya yang diuakininya, yaitu ‘Alam jeung Jaman Kawulaan, Saur Elingkeun’. Dengan mencermati dan menghayati falsafah itu, secara otomatis masyarakat adapt punya rasa kesadaran serta tanggungjawab untuk menjalankan amanah yang diwariskan leluhur.

Pada umumnya di Pulau Jawa terutama di Tatar Sunda, mempunyai kesamaan tata cara hidup dan kehidupan sehari-hari, terutama pada acara ritual atau upacara tradisional. Karena masyarakat adapt yang berada di Tatar Sunda mengakui yaitu: Boga Tatar/wilayah, Boga Bahasa, Boga Aksara.

Boga Tatar (wilayah). Wilayah dalam arti yang luas yaitu sikap hidup yang tidak bias ditawar-tawar lagi tentang “Ngarawat, Ngarumat Alam jeung Lingkungan”. Sikap hidup bukan hanya “di alam”, tetapi “hidup bersama alam”. Alam bukan hanya sebagai objek melainkan juga subjek, yang seharusnya dilindungi atau dilestarikan sekaligus dimuliakan, karena alam dan lingkungan dengan segala aspek yang terkandung didalambya baik flora maupun fauna pada hakekatnya diciptakan oleh Tuhan mempunyai “pancen” (tugas) yang mulia di bumi ini, sama halnya seperti manusia.

Boga Bahasa, yaitu Bahasa Sunda; Tetapi saying Bahasa Sunda belum menjadi bahasa yang dibanggakan oleh Orang Sunda, kadang orang Sunda sendiri malu menggunakan bahasa yang diwariskan leluhurnya.

Boga Aksara, yaitu aksara Sunda. Demikian juga nasib aksara Sunda, jangkan di kota yang sudah tercemar budaya kiriman, di kampong adat Sunda hamper punah.

Mengenai ciri-ciri umum tapak lacak Ki Sunda, dimana Ki Sunda sudah memberi contoh; Cisadane, Citarum, Citanduy, Ciwulan, Cisanggarung, dst. Jadi jelas masyarakat Sunda punya rasa memiliki sat leluhur yang kerap kali disebut Ki Sunda.

Mengenai pengakuan kesamaan sejarah budaya, kami masih tetap beranggapan bahwa leluhur kami adalah pewaris budaya Ki SUnda dan kami masih akan tetap berpegang teguh pada adapt istiadat Ki Sunda. Masalahnya Siapa itu Ki Sunda?

Menurut pendapat kami (tidak ada tapi ada). Ki Sunda itu ”ngahiang” oleh karena itu Tatar Sunda sering disebut Parahiayangan. Walaupun di masa keemasannya, kerajaan-kerajaan yang berada di Tatar Sunda seperti Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Pakuan Pajajaran, Kerajaan Galuh, begitu termashur sampai ke penjuru dunia, tetapi ketiga begitu ”ngahiang”, itu semua tidak ada, hanya tertinggal ciri-ciri atau tanda-tanda bahwa kerajaan itu pernah ada. Dari situlah tapak lacak Ki Sunda yang sampai sekarang oleh masyarakat kelompok minoritas dijadikan tradisi dari sisi hidup dan kehidupannya. Dari situlah kita semua dapat mengenalinya, yang dinamakan kelompok-kelompok masyarakat minoritas yang berada tersebar di Jawa Barat dan Banten juga di perantauan sekarang masih kokoh melestarikan adat istiadat/tradisi. Itu semua tidak terlepas dari cerminan nenek moyang. Mereka punya definisi yang sama yaitu; Ada Wilayah bukan administratif melainkan DAS (Daerah Aliran Sungai). Ada Masyarakat dan Ada Aturan (falsafah). Bagi Negara/Pemerintah aturan itu undang-undang, bagi Umat aturan itu berupa Kitab, bagi Masyarakat Adat aturan itu berupa falsafah. Aturan-aturan yang ada pada masyarakat minoritas (adat) itu tidak tertulis, melainkan lisan (tidak tersurat tapi tersirat).

Kelompok masyarakat minoritas/masyarakat adat baik yang ada di kawasan maupun di luar kawasan mereka punya rasa satu pancen yang sama ”Sosoh, Seuseuh, Sisih”. Salah satu diantaranya yaitu ”Ngurus lembur akur jeung dulur panj’e’g dina galur”, lebih luas ngaheuyeuk dayeuh, ngolah Nagara, bagi kelompok minoritas/masyarakat adat itu sendiri diwujudkan dalam perilaku hidup dan kehidupannya, berupa gotong royong, baik perorangan maupun kelompok. Apalagi kalau sudah tiba waktu pelaksanaan upacara tradisi yang telah ditentukan, semua masyarakat sudah tertanam punya rasa memiliki atau suatu kewajiban dan kebutuhan bagi masyarakat minoritas tersebut.

Tatanan hidup dan kehidupan masyarakat adat itu sudah diatur oleh ”ugeran” (falsafah), diantaranya mengenai tatanan hidup dan kehidupan suatu bangsa yaitu ”Leungit cirina, leungit ajeng jeun inajenna, ruksak budayana, ruksak bangsana.” Nah, sebetulnya bangsa kita ini menurut penulis sudah banyak mengabaikan, bahkan meninggalkan budaya/kebiasaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang, mereka lebih tergiur oleh arus modernisasi yang katanya mengikuti kemajuan zaman, yang pada akhirnya apa yang dikatakan oleh nenek moyang menjadi kenyataan bahwa, ”Pandita ilang sabarna, Wanita ilang wirangna.”

Saat ini kita semua berada dalam era modernisasi dengan segala aspek negatif maupun positifnya. Era modernisasi tidak bisadihindari, cepat atau lambat pasti mempunyai pengaruh dan menimbulkan berbagai perubahan kehidupan sosial, tidak terkecuali di pelosok desa terpencil sekalipun. Permasalahannya sekarang, bagaimana nilai-nilai baru (budaya kiriman dari luar) disikapi secara arif dan bijaksana, kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai budaya tradisional yang ada di Tatar Sunda.

Saat ini nilai-nilai tradisi di Tatar Sunda berada di persimpangan jalan antara dicintai dan diabaikan, bahkan dilupakan terutama oleh generasi muda yang lebih menyukai budaya kiriman dibanding budaya lokal. Sebetulnya kita sudah berada pada masa pendangkalan nilai-nilai tradisional (kearifan lokal), ditengah-tengah membanjirnya budaya luar di negeri ini yang tidak sesuai dengan pribadi dan jati diri bangsa dengan kata lain ”Jati kasindih ku Junti”.

Secara tidak sadar, nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki dan diwariskan oleh nenek moyang sudah hampir punah. ”Luntur ku Lukut Usum, Laas ku Supa Jaman”. Kehilangan makna dan arti dari falsafah warisan nenek moyang, karena warisan tersebut telah ditinggalkan oleh sebagian masyarakat.

Pengkajian dan penjabaran nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai kearifan lokal Ki Sunda yang bisa meningkatkan ketahanan budaya dan mental spiritual yang merupakan jati diri bangsa dikhawatirkan tidak dicintai lagi, contohnya Basa Sunda jeung Aksara Sunda. Bahasa Sunda menjadi anak tiri di negeri sendiri, demikian juga Aksara Sunda hanya tinggal di museum.

Sudah saatnya nilai-nilai budaya Ki Sunda diterapkan lebih tepat dan seksama sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri, dan diharapkan lebih bermanfaat bagi perkembangan budaya bangsa kita di wilayah Nusantara khususnya du Tatar Sunda. Bagi masyarakat yang berada di Tatar Sunda minimal memahami; budaya kiriman tetap disikapi. Hal itu tidak bisa dibendung karena sebagai bagian dari proses perubahan zaman yang dinamis. Sesuai dengan falsafah nenek moyang kami anut yaitu; Saur Elingkeun, Jaman Kawulaan”.

Sebagai penangkal yang berupa ”pamali” (tabu), di kalngan masyarakat pada umumnya sudah tidak lagi mampu membendung era modernsasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan budaya bangsa kita. Dengan demikian, akibatnya terjadi perubahan perilaku/moralitas yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial, budaya dan agama. Maka dikhawatirkan masyarakat akan menyerah tanpa mempunyai keinginan untuk mengendalikan diri. Sebagai manusia yang menyerah para era modernisasi dan menelan mentah-mentah pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan norma dan adat istiadat. Manusia hanya peka dan turut pada nilai-nilai kebutuhan dasar, yaitu materi dan kepuasan sesaat saja. Efek dari modernisasi ini bukan mempertahankan gaya hidup melainkan lebih mengarah kepada hidup gaya (boros, pamer, dan serakah).

Perrkembangan wayah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal dan agama, dapat merusak alam dan lingkungan juga dapat menghancurkan moralitas bangsa. Misalnya: Budaya gotong royong yang diwariskan nenek moyang hampir punah. Masyarakat cenderung hidup individualisme, akibatnya terjadi jurang pemisah antara Si kaya dan Si Miskin. Yang pada akhirnya terjadi konflik horizontal antara komunitas atau satu dengan komunitas yang lain. Karena sudah kehilangan ”asih, asah dan asuh” antar sesama.

Pengkajian nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai tradisional dengan nilai-niilai karifan lokal yang bisa meningkatkan ketahanan budaya dan mental spiritual yang merupakan jatidiri bangsa dikhawatirkan tidak dicintai lagi bahkan ditinggalkan. Saat ini hidup dan kehidupan di masyarakat makna dan arti dari suatu ucapan yaitu; ”Tekad, Ucap dan Lampah” cenderung tidak selaras lagi. Akibatnya mengurangi wibawa dan kharismanya. ”leungit Cirina, Leungit Ajen Jeung Inajen. Ruksak Budayana, Ruksak Bngsana”.

Di dalam kehidupan masyarakat adat di manapu itu berada tidak terlepas dari alur atau galur (tapak lacak leluhur/nenek moyang). Walaupun rintangan dan tantangan di sekitar selalu menghantui, masyarakat adat tetap kokoh pada tatanan hidup dan kehidupan yang telah digariskan oleh nenek moyang. Baik itu untuk sandang, pangan, papan, besar ataupun kecil tetap menjalankan apa yang telah dilaksanakn oleh generasi terdahulu. Misalnya; melaksanakan ritual-ritual atau upacara adat.

Pada upacara tradisonal di masyarakat adat, apapun agama yang dianut oleh masyarakat adat itu sendiri, mereka tidak terlepas apa yang telah dan pernah dilaksanakan oleh generasi terdahulu. Jadi secara turun-temurun dari generasi ke generasi tetap dijalankan. Misalnya, di Kampung Naga, Masyarakat adat sebagai pemeluk agama Islam baik yang berada dikawasan ataupun di luar kawasan yang tersebar di beberapa desa/kecamatan dan kabupaten, apabila sudah tepat pada waktu yang bekaitan dengan hari atau bulan besar Islam, masyarakat adat Kampung Naga melaksanakan upacara tradisional, yang lebih dikenal dikalangan adat kampung naga yaitu Hajat Sasih.

Hajat Sasih dilaksanakan dalam setahun enam kali, yaitu

1. Bulan Muharam (Tahun Baru Hijriah)
2. Bulan maulid (Kelahiran Nab Muhammad SAW)
3. Bulan Jumadil Akhir (Pertengahan Tahun Hijriah)
4. Bulan Reuwah (Nisfu Sa’ban)
5. Bulan Syawal (Idul Fitri)
6. Bulan Rayagung (Idul Adha)

Pelaksanaan upacara tradisional (Hajat sasih) dilakukan oleh kaum lanang (laki-laki), sedang kaum wadon (isteri), menyediakan makanan berupa tumpeng dan makanan alakadarnya untuk hidangan yang disajikan pada riungan bersama di mesjid yang dipimpin oleh kuncen, yang diawali terlebih dahulu melaksanakan ziarah ke makam Kampung Naga.

Demikian terima kasih.

Sumber:
Makalah disampaikan dalam kegiatan ”Workshop dan Festifal Komunitas Adat” yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 23 Juli 2009.

© http://wisatadanbudaya.blogspot.com

Hati-hati Memanggil Orang Bugis dengan “Daeng”

Pengantin Bangsawan BugisULAH anggota Pansus Angket Skandal Century dari Partai Demokrat Ruhut Sitompul yang memanggil Pak Jusuf Kalla dengan sebutan “Daeng” boleh jadi bermaksud baik atau sebagai penghormatan. Namun bagi orang Bugis, tidak selamanya penyebutan kata “Daeng” itu dapat diterima baik. Buktinya, beberapa anggota Pansus lain yang kebetulan berdarah Bugis seperti Faisal Akbar dan Andi Rahmat merasa tersinggung dan keberatan. Juga sekelompok mahasiswa di Makassar melakukan aksi demo mengutuk ulah Ruhut Poltak sitompul tersebut. Apa, sih, makna “Daeng” yang sesungguhnya?

Sebelum saya menguraikan masalah ini mungkin saya perlu menguraikan latarbelakang pengetahuan saya mengenai hal ini. Saya memahami sedikit karena kebetulan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat dan budaya Bugis. Saya berasal dari Bone, sama dengan Pak JK. Sedangkan Bone adalah salah satu dari tiga kerajaan utama di Sulawesi Selatan, bersama Gowa dan Luwu. Di Bone, kebetulan saya pernah menangani sanggar budaya “Saoraja” (Istana). Sedangkan di Luwu, kebetulan pula saya menikah dengan cucu Raja Luwu Andi Djemma yang pahlawan nasional itu, dan pernah menjadi sekretaris pribadi Datu (Raja) Luwu ketika mertua saya Andi Achmad Opu To Addi Luwu (almarhum) memangku jabatan sebagai Datu Luwu tahun 1994-2002.

Yang saya ketahui, masyarakat Bugis agak ketat memegang adat yang berlaku, utamanya dalam hal perlapisan sosial. Pelapisan sosial masyarakat yang tajam merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Bugis. Sejak masa pra Islam masyarakat Bugis mudah mengenal stratifikasi sosial. Di saat terbentuknya kerajaan dan pada saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam stratifikasi sosial dalam masyarakat. Startifikasi sosial ini mengakibatkan munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan golongan bawah.

Dalam suku Bugis jaman dulu dikenal 3 strata sosial atau kasta. Kasta tertinggi adalah Ana’ Arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi. Kasta berikutnya adalah To Maradeka atau orang merdeka (orang kebanyakan). Kasta terendah adalah kasta Ata atau budak. Hanya orang-orang yang berkasta Ana’ Arung dan To Maradeka yang berhak memberikan nama gelar pada keturunannya. Sementara kasta Ata tidak berhak untuk menggunakan nama gelar. Bagi bangsawan Bugis, gelarannya adalah “Andi“, sedangkan bagi To Maradeka bergelar Daeng.

Namun dalam perkembangannya, paggilan “Daeng” saat ini memiliki makna yang beragam. Bisa berarti kakak, bisa pula bermakna kelas sosial. Namun demikian penggunaannya harus berhati-hati. Apalagi saat ini, penggunaan kata Daeng untuk memanggil seseorang sering ditujukan untuk masyarakat dengan kelas sosial tertentu. Misalnya, daeng becak (penarik becak), daeng sopir pete-pete (sopir angkot), daeng kuli bangunan dan lain sebagainya.

Saya juga pernah mengalami seperti Pak JK. Suatu ketika ada seseorang yang memanggil saya dengan sebutan daeng. Saya sih tak mempersoalkan. Saya anggap itu wajar, apalagi yang memanggil itu usianya lebih muda dari saya. Tapi apa lacur, ternyata ada beberapa orang keluarga yang merasa tersinggung. Ia tidak menerima baik. Dan tanpa sepengetahuan saya, si keluarga tadi mendamprat orang tersebut, bahkan mempertanyakan asal-usulnya segala. Katanya, ia dianggap tidak pantas memanggil Daeng.

Bagi saya, hal seperti ini sebenarnya tak perlu terjadi. Namun bagi keluarga hal ini tidak bisa dibiarkan. Mereka bilang kalau tidak ingin mengikuti aturan adat gunakan saja panggilan umum, misalnya “Pak”, jangan “Daeng”. Akhirnya saya terpaksa mahfum walau hati saya sebenarnya tidak menerima dengan alasan persamaan derajat manusia. Begitulah realitanya sampai hari ini. Sebagian masyarakat Bugis masih memegang teguh adat istiadatnya termasuk berkaitan soal strata sosial ini.

Di Sulawesi Selatan, khususnya penghormatan kepada tokoh Bugis termasuk di dalamnya bangsawan biasanya dilakukan dengan menggunakan kata panggilan “Puang”, bukan “Daeng”. Ini secara umum. Jadi hati-hatilah memanggil orang Bugis dengan sebutan “Daeng”.

Boleh jadi karena itu pulalah di Kompasiana saya lebih suka menggunakan nama depan “Andy”, dan bukan “Andi”…. Biar lebih asyik gitu loh… he he heee… ..
© http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/16/hati-hati-memanggil-orang-bugis-dengan-daeng/

suku bangsa yang ada di Indonesia.

1. Abai - Kalimantan Timur
2. Abung - Sumatra
3. Aceh - DI Aceh
4. Adang - Kalimantan
5. Adonara - NTB/NTT
6. Akit - Sumatra
7. Alas - DI Aceh
8. Alifuru - Maluku
9. Alor Solor - NTB/NTT
10. Ambon - Maluku
11. Ampana - Sulawesi
12. Anak Dalam - Riau
13. Anabas - Sumatra
14. Aneuk Jame - Sumatra
15. Anggi - Papua
16. Angkola - Sumatra
17. Aput - Kalimantan
18. Arab - DKI Jakarta
19. Arguni - Papua
20. Aru - Maluku
21. Asmat - Papua
22. Atoni - NTB/NTT
23. Awiu - Papua
24. Ayou - Kalimantan
25. Bacan - Maluku
26. Bada - Sulawesi
27. Badar - Maluku
28. Bahau - Kalimantan
29. Bajau - Jambi
30. Bajo - Sulawesi
31. Baku - Sulawesi
32. Balantak - Sulawesi
33. Balatan - Sulawesi Tengah
34. Bali - Bali
35. Bali Aga - NTB/NTT
36. Banda - Maluku
37. Banggai - Sulawesi Tengah
38. Bangka - Sumatra
39. Banjar – Kalimantan Selatan
40. Banjar Hulu – Kalimantan Selatan
41. Banjar Kuala – Kalimantan Selatan
42. Banten - Jawa Barat
43. Bantenan - Sulawesi
44. Bantik - Sulawesi Utara
45. Banyak - Sumatra
46. Basap - Kalimantan
47. Batak - Sumatra
48. Batang Lupar - Kalimantan
49. Batanta - Papua
50. Batin - Jambi
51. Batu - Sumatra
52. Batu Blah - Kalimantan
53. Bawean - Jawa
54. Bela - Sumatra
55. Belang - Sulawesi
56. Belu - NTB/NTT
57. Bengkulu - Bengkulu
58. Benua - Sumatra
59. Berusu - Kalimantan Timur
60. Besoa - Sulawesi
61. Betawi - DKI Jakarta/Jawa Barat
62. Biaju - Kalimantan
63. Biak - Papua
64. Biasaya - Kalimantan
65. Biliton - Sumatra
66. Bima - NTB
67. Bituni - Papua
68. Bobongko - Sulawesi
69. Bodha - NTB/NTT
70. Boh - Kalimantan
71. Bolaang Mongondow - Sulawesi Selatan
72. Bonfia - Maluku
73. Bonai - Riau
74. Bugis - Sulawesi Selatan
75. Bukar, Dayak - Kalimantan
76. Bukar, Punan - Kalimantan
77. Bukit - Kalimantan
78. Bukitan - Kalimantan
79. Bukupai - Kalimantan Barat
80. Buli - Maluku
81. Bulungan - KalimantanTimur
82. Bungku - Sulawesi
83. Buol - Sulawesi
84. Buru -Maluku
85. Busang - Kalimantan
86. Buton - Sulawesi Tenggara
87. Buyu - Sulawesi
88. Caniago - Sumatra Barat
89. Cina - Jawa / Kalimantan / DKI Jakarta / Sumatra
90. Damar - Maluku/NTB/NTT
91. Dani - Papua
92. Darat - Sumatra
93. Dawan - NTT
94. Dayak – Kalimantan Barat / Kalimantan Tengah
95. Demta - Papua
96. Desa - Kalimantan
97. Dodongko - NTB/NTT
98. Dompo - NTB/NTT
99. Dusun - Kalimantan Barat
100. Ende - NTB/NTT
101. Enggano - Bengkulu
102. Flores - NTT
103. Furuaru - Maluku
104. Galela - Maluku
105. Gene - Maluku
106. Gayo - DI Aceh
107. Genyem - Papua
108. Gimpu - Sulawesi
109. Goram - Maluku
110. Gorontalo - Sulawesi Utara
111. Guai - Papua
112. Guci - Sumatra Barat
113. Halmahera -Maluku
114. Hattam - Papua
115. Helong - NTT
116. Hutan - Riau
117. Iban - Kalimantan
118. Iha - Papua
119. Jakui - Papua
120. Jambak - Sumatra Barat
121. Jambi - Jambi
122. Jawa - DI Yogyakarta /Jawa Timur/Jawa Teangah/Bali/Sumatra
123. Juru - Sumatra
124. Kabaena - Sulawesi
125. Kadayan - Kalimantan
126. Kahayan - Kalimantan
127. Kadipan - Sulawesi
128. Kaili - Sulawesi Tengah
129. Kalabit - Kalimantan
130. Kangean - JawaTengah
131. Kanowit - Kalimantan
132. Kapauku - Papua
133. Karimun - JawaTengah
134. Karo - Sumatra Utara
135. Katingan - Kalimantan
136. Kayan - Kalimantan Timur
137. Kayoa - Maluku
138. Kei - Maluku
139. Kelai - Kalimantan
140. Kenya - Kalimantan Timur
141. Kerinci - Jambi
142. Kiman - Papua
143. Kinadu - Sulawesi
144. Kinjing - Kalimantan
145. Kisan - Sumatra Selatan
146. Kisar - Sumatra Selatan
147. Klamantan - Kalimantan
148. Kluet - DI Aceh
149. Kodombuku - Sulawesi
150. Komering - Sumatra Selatan
151. KotaWaringin - Kalimantan
152. Koto - Sumetra Barat
153. Kubu -Jambi /Sumatra Selatan
154. Kulawi - Sulawesi Tengah
155. Kulisusu - Sulawesi Tenggara
156. Kupang - NTB/NTT
157. Lage - Sulawesi
158. Lajolo - Sulawesi
159. Laki - Sulawesi Tenggara
160. Lalaeo - Sulawesi
161. Lambatu - Sulawesi
162. Lampu - Sulawesi
163. Lampung - Lampung
164. Land Dayak - Kalimantan
165. Larantuka
166. Laras Fordata - Maluku
167. Laut - Riau
168. Lawangan - Kalimantan Barat
169. Lebong - Bengkulu
170. Leboni - Sulawesi
171. Lematang - Sumatra Selatan
172. Leti - NTB/NTT/Maluku
173. Lindu - Sulawesi
174. Lingga - Sumatra
175. Lio - NTB/NTT
176. Lisum - Kalimantan
177. Loda - Maluku
178. Loinang - Sulawesi
179. Lom - Sumatra
180. Lombleng - NTB/NTT
181. Lombok - NTB
182. Long Giat - Kalimantan
183. Long Kiput - Kalimantan
184. Long Wai - Kalimantan
185. Lundu - Kalimantan
186. Lugat - Kalimantan
187. Lubu - Sumatra
188. Maayan - Kalimantan Barat
189. Maba - Maluku
190. Madura - Jawa Timur/Bali
191. Mairasi - Papua
192. Makasar - Sulawesi Selatan
193. Makian - Maluku
194. Mamak - Sumatra
195. Mamasa - Sulawesi
196. Memberamo - Papua
197. Membaro - NTB/NTT
198. Mamuju - Sulawesi
199. Manado - Sulawesi Utara
200. Mandailing - Sumatra Utara
201. Mandar - Sulawesi Selatan
202. Manggarai - NTB/NTT
203. Mangki - Sulawesi
204. Manikion - Papua
205. Manyukei - Kalimantan
206. Mapia - Papua
207. Mapute - Sulawesi
208. Marea - NTB/NTT
209. Marindanim - Papua
210. Maronene - Sulawesi
211. Masenrempulu - Sulawesi
212. Matano - Sulawesi
213. Mbaluh - Kalimantan
214. Medan - Sumatra
215. Meibrat - Papua
216. Melanau - Kalimantan
217. Melayu - Kalimantan/Sumatra Utara/Riau/Jambi/Bengkulu/Lampung
218. Mengkongga - Sulawesi
219. Mimika - Papua
220. Minahasa - Sulawesi Utara
221. Minangkabau - Sumatra Barat
222. Misol - Papua
223. Moa - Maluku
224. Moni - Papua
225. Morotai - Maluku
226. Mualang - Kalimantan
227. Muna - Sulawesi Tenggara
228. Murik - Kalimantan
229. Murung - Kalimantan
230. Murut - Kalimantan Tengah
231. Musihulu - sumatra
232. Muyu - Papua
233. Mori - Sulawesi Tengah
234. Moronene - Sulawesi Tengah
235. Bage Keo - NTB/NTT
236. Nafuna - Sumatra
237. Ngada - NTB/NTT
238. Ngayu - Kalimantan Barat
239. Nias - Sumatra Utara
240. NilaTeun Serui - Maluku
241. Numfor - Papua
242. Obi - Maluku
243. Orang Depok - DKI Jakarta
244. Orang Laut - Sumatra
245. Orang Tugu - DKI Jakarta
246. Osing - Jawa Timur
247. Ot Danum Ngayu - Kalimantan Barat
248. Ot Danum Punan - Kalimantan Tengah
249. Pakambia - Sulawesi
250. Pakawa - Sulawesi
251. Pakpak - Sumatra
252. Palembang - Sumatra Selatan
253. Palu - Sulawesi Tengah
254. Pamona - Sulawesi Tengah
255. Pantai Timur - Papua
256. Pantar - NTB/NTT
257. Panyalai - Sumatra Barat
258. Parigi - Sulawesi
259. Patai - Kalimantan
260. Patani - Maluku
261. Patasiwa Putih - Maluku
262. Patasiwa Hitam - Maluku
263. Pebato - Sulawesi
264. Penghulu - Jambi
265. Penyabong - Kalimantan
266. Piliang - Sumatra Barat
267. Pipikoro - Sulawesi
268. Pisang - Sumatra Barat
269. Pitu Ulama - Sulawesi
270. Prihing - Kalimantan
271. Ponosokan - Sulawesi
272. Pontianak - Kalimantan
273. Poso - Sulawesi
274. Pulo - Sumatra
275. Punan - kalimantan Tengah /Kalimantan Barat
276. Pu'u Mboto - Sulawesi
277. Rampi - Sulawesi
278. Ranau - Sumatra Selatan
279. Rato - Sulawesi
280. Rawas - Sumatra Selatan/Lampung
281. Rejang - Bengkulu/Sumatra Selatan
282. Riau - Sumatra
283. Riung - NTB/NTT
284. Roma Dama - Maluku
285. Rongkong - Sulawesi
286. Rote - Nusa Tenggara Timur
287. Ruma - NTB/NTT
288. Saban - Kalimantan
289. Sabu - Nusa Tenggara Timur
290. Sadang - Sulawesi
291. Sadong Dayak - Kalimantan
292. Sakai - Riau
293. Salawati - Papua
294. Saluan - Sulawesi
295. Salu Maogge - Sulawesi
296. Samarinda - Kalimantan
297. Samin - Jawa Tengah
298. Sangau - NTB/NTT
299. Sangir - Sulawesi Utara
300. Sapudi - Jawa
301. Saputan - Kalimantan
302. Sami - Papua
303. Saruyan - Kalimantan
304. Sasak - NusaTenggara Barat
305. Schouten - Papua
306. Sebop - Kalimantan
307. Segal - Kalimantan
308. Sekadau - kalimantan
309. Sekah - Sumatra
310. Seko - Sulawesi
311. Selaru - Maluku
312. Selayar - Sulawesi
313. Samendo - Lampung
314. Senggi - Papua
315. Sentani - Papua
316. Seram - Maluku
317. Sermana - Maluku
318. Serua - Maluku
319. Serut - Papua
320. Seti - Maluku
321. Seumeulu - Sumatra
322. Siang - Kalimantan
323. Sichole - Sumatra
324. Sidin - Kalimantan
325. Sigi - Sulawesi
326. Sikka - NTB/NTT
327. Sikumbang - Sumatra Barat
328. Simalungun - Sumatra Utara
329. Simalur - Sumatra
330. Simelu - DI Aceh
331. Singkil - DI Aceh
332. Siong - Kalimantan
333. Sokah - Bengkulu
334. Solor - NTB/NTT
335. Sula - Maluku
336. Sumba - NusaTenggara Timur
337. Sumbawa - Nusa Tenggara Barat
338. Sunda - Jawa Timur
339. Tabuyan - Kalimantan
340. Tagal - Kalimantan
341. Talaud - Sulawesi
342. Tali Abu - Maluku
343. Talang - Riau
344. Tampus - Jawa
345. Tanibar - Maluku
346. Taman - Kalimantan
347. Tabe'e - Sulawesi
348. Tambelan - Sumatra
349. Tambak - Sumatra Barat
350. Tamiang - Di Aceh
351. Tangalan - Kalimantan
352. Tanjung - Sumatra Barat
353. Tapung - Sumatra
354. Tamonan - Kalimantan
355. Tarakan - Kalimantan
356. Tawaelia - Sulawesi
357. Teluk Jayapura - Papua
358. Tengger - Jawa Timur
359. Ternate -Maluku
360. Teun - Maluku
361. Tidung - Kalimantan Timur
362. Timur - Sumatra
363. Toala - Sulawesi
364. Toba - Sumatra Utara
365. To Balantik - Sulawesi
366. To Belo - Maluku
367. To Ganti - Sulawesi
368. To Gian - Sulawesi
369. Togitil - Maluku
370. Tojo - Sulawesi
371. To Laiwa - Sulawesi
372. To Landawe - Sulawesi
373. Toli - Toli - Sulawesi
374. To Loinang - Sulawesi
375. Tolour - Sulawesi
376. Tombolu - Sulawesi
377. To Mini - Sulawesi
378. To Mori - Sulawesi
379. Tompakawe - Sulawesi
380. Tondano - Sulawesi
381. Tonsawang - Sulawesi
382. Tonsea - Sulawesi
383. Tonsina - Sulawesi
384. Toraja - Sulawesi Selatan
385. Totemboan - Sulawesi
386. Treng - Kalimantan
387. Tring - Kalimantan
388. Uhundun - Papua
389. Ukit – Kalimantan
© http://www.anneahira.com/indonesia/suku-bangsa.htm

ADAT ISTIADAT MINANGKABAU

Pendahuluan
Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan Ternate. Agama Islam pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut.
Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangannya di wilayah Minangkabau sekarang ini. Bold text Kekhasan lain yang sangat penting ialah bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat.
Pada tataran konseptional, adat Minang terbagi pada empat kategori:
1. Adat nan sabana adat
2. Adat nan teradat
3. Adat nan diadatkan
4. Adat istiadat
Adat mengatur interaksi dan hubungan antar sesama anggota masyarakat Minangkabau, baik dalam hubungan yang formal maupun yang tidak formal, sesuai dengan pepatah, bahwa sejak semula ada tiga adat nan tajoli:
Partamo sambah manyambah,
kaduo siriah jo pinang,
katigo baso jo basi.
Banamo adat sopan santun.
Tajoli dari kata 'joli', sejoli=sepasang, (joli=kereta tandu, teman sejoli berarti teman satu kereta tandu sehingga sangat akrab) satu set. Jadi ketiga bagian adat di atas adalah satu set yang berjalan seiring, diprektekkan dalam kehidupan sehari-hari orang Minang, baik orang biasa maupun para penghulu dan cerdik pandainya.
Secara legalistik atau kelembagaan, adat Minang dapat dirangkum dalam Limbago nan Sapuluah, yaitu:
1. Cupak nan duo
2. Kato nan ampek
3. Undang nan ampek
Cupak nan Duo ialah Cupak Usali dan Cupak Buatan Kato nan Ampek ialah:
1. Kato Pusako
2. Kato Mupakat
3. Kato Dahulu Batapati
4. Kato Kudian Kato Bacari
Undang nan Ampek ialah:
1. Undang-undang Luhak dan Rantau
2. Undang-undang Nagari
3. Undang-undang Dalam Nagari
4. Undang-undang nan Duopuluah
edit Adat Minang pada tataran konseptual
Adat Minang mencakup suatu spektrum dari yang paling umum hingga yang paling khusus, dari yang paling permanen dan tetap hingga yang paling mercurial dan sering berubah-ubah, bahkan ad-hoc. Di sini adat Minang disebut Adat nan Ampek.
1). Adat nan Sabana Adat, adat yang paling stabil dan umum, dan sebenarnya berlaku bukan hanya di Minangkabau saja, melainkan di seluruh alam semesta ini. Disepakati bahwa adat yang sebenarnya adat adalah Hukum Alam atau Sunnatullah, dan Hukum Allah yang tertuang di dalam ajaran Islam. Dengan mengambil Alam takambang menjadi guru adat Minang dapat menjamin kompatibilitasnya untuk segala zaman dan dengan demikian menjaga kelangsungannya di hadapan budaya asing yang melanda. Masuknya agama Islam ke Minangkabau, juga telah melengkapi Adat Minang itu menjadi kesatuan yang mencakup unsur duniawi dan unsur transedental.
2). Adat nan Diadatkan. Adat Minang menjadi adat Minang adalah karena suatu identitas dengan kesatuan etnis dan wilayah : adat Minang adalah adat yang diadatkan oleh Orang Minang, di Minangkabau. Jadi adat Minang itu sama di seluruh Minangkabau, dan setiap orang Minang be dan leluasa membuat penyesuaian-penyesuaian, maka adat itu akan bertahan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya akan sense of order. Tidak ada unsur paksaan yang akan terasa jika adat itu monolitik dan seragam di seluruh wilayah.
4). Adat Istiadat. Ialah adat yang terjadi dengan sendirinya karena interaksi antar anggota masyarakat dan antar anggota masyarakat dengan dunia luar. Dinamakan juga adat sepanjang jalan yang datang dan pergi, dan ditolerir selama tidak melanggar adat yang tiga di atas. Pengakuan akan adanya adat-sitiadat ini menjadikan adat Minang lebih komplit dan memberi ruang bagi anggota masyarakat untuk bereksperimen dengan hal-hal baru dan memperkaya budayanya.
Empat macam adat diatas adalah adat Minang semuanya dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Keempatnya tidak dapat dipisahkan, dan tidak dapat dikatakan adat Minang kalau kurang salah satu: Bukanlah adat Minang jika hanya terfokus pada adat istiadat akan tetapi melawan Hukum Alam. Dan buknlah pula adat Minang jika hanya berbicara tentang pengangkatan Penghulu, tetapi tidak memberi ruang untuk berlakunya adat istiadat yang dipakai oleh orang kebanyakan.
edit Adat Minang pada tataran praktis
Dikatakan dalam pepatah adat: Partamu sambah manyambah, kaduo siriah jo pinang, katigo baso jo basi. Banamo adat sopan santun.
Rangkaian kata-kata pusako ini menyatakan bahwa adat Minangkabau itu kalau dirangkum sebenarnaya dapat disingkat menjadi tiga hal:
1). Pasambahan.
Adat Minang sarat dengan formalitas dan interaksi yang dikemas sedemikian rupa sehingga acara puncaknya tidak sah, tidak valid, jika belum disampaikan dengan bahasa formal yang disebut pasambahan. Acara-acara adat, mulai dari yang simple seperti mamanggia, yaitu menyampaikan undangan untuk menghadiri suatu acara, hingga yang berat seperti pengangkatan seseorang menjadi Pangulu, selalu dilaksanakan dengan sambah-manyambah.
Sambah-manyambah di sini tidak ada hubungannya dengan menyembah Tuhan, dan orang Minang tidak menyembah penghulu atau orang-orang terhormat dalam kaumnya. Melainkan yang dimaksud adalah pasambahan kato. Artinya pihak-pihak yang berbicara atau berdialog mempersembakan kata-katanya dengan penuh hormat, dan dijawab dengan cara yang penuh hormat pula. Untuk itu digunakan suatu varian Bahasa Minang tertentu, yang mempunyai format baku.
Format bahasa pasambahan ini penuh dengan kata-kata klasik, pepatah-petitih dan dapat pula dihiasi pula dengan pantun-pantun. Bahasa pasambahan ini dapat berbeda dalam variasi dan penggunaan kata-katanya. Namun secara umum dapat dikatakan ada suatu format yang standar bagi seluruh Minangkabau.
Terkait dengan pasambahan, adat Minang menuntut bahwa dalam setiap pembicaraan, pihak-pihak yang berbicara ditentukan kedudukannya secara formal, misalanya sebagai tuan rumah, sebagai tamu, sebagai pemohon, atau sebagai yang menerima permohonan.
2). Sirih dan pinang
Sirih dan pinang adalah lambang fromalitas dalam interaski masyarakat Minangkabau. Setiap acara penting dimulai dengan menghadirkan sirih dan kelengkepannya seperti buah pinang, gambir, kapur dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano yang diedarkan kepada hadirin. Siriah dan pinang dalam situasi tertentu diganti dengan menawarkan rokok.
Makna sirih adalah secara simbolik, sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaran. Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga, meskipun nilai simbolik suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai intrinsiknya. Dalam pepatah adat disebutkan, siriah nan diateh, ameh nan dibawah. Dengan sirih suatu acara sudah menjadi acara adat meskipun tidak atau belum disertai dengan pasambahan kato.
Sirih dan pinang juga mempunyai makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik pemberitahuan yang ditujukan pada orang tertentu atau pada khalayak ramai. Karena itu, helat perkawinan termasuk dalam bab ini.
3). Baso-basi
Satu lagi unsur adat Minang yang penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-basi: bahkan anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi mengharuskan setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan memelihara kontak dengan orang disekitarnya secara terus-menerus. Seseorang orang Minang tidak boleh menyendiri.
Baso-basi diimplementasikan dengan cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan formal, baso-basi berfungsi menjaga forms, yaitu hubungan yang selain harmonis juga formal antara setiap anggota masyarakat nagari, dan menjamin bahwa setiap orang diterima dalam masyarakat itu, dan akan memenuhi tuntutan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat yang berlaku di nagari itu.
edit Kelembagaan Adat Minang
Satu hal yang sangat penting adalah bahwa bagi orang Minang, adat itu adalah suatu Limbago, atau lembaga, dan mengandung unsur-unsur yang merupakan lembaga juga. Penghulu adalah lembaga, urang sumando adalah lembaga. Demikian juga perkawinan, suku, hukum, semuanya adalah lembaga. Dalam pepatah dikatakan:
Adat diisi, limbago dituang.
Jadi adat adalah sesuatu yang diisi, dipenuhi dan dilaksanakan, sedangkan lembaga adalah suatu jabatan, suatu aturan dasar atau undang-undang yang dibentuk dan ditetapkan untuk jangka waktu yang lama. Lembaga tidak boleh sering diubah atau diganti, lembaga harus permanen -- dikiaskan dengan logam cor atau besi tuang.
[edit] Cupak nan Duo
Cupak adalah alat takaran. Alat takar lain sering disebut, seperti gantang, taraju, bungka. Maksud alat-alat ini adalah simbol lembaga hukum yang menjadi acuan bagi masayarakat dalam menjalankan dan mengembangkan adatnya. Sebagaimana masyarakat yang sederhana mungkin dapat melaksanakan perdagangan dengan ukuran kira-kira, misalnya menjual beras sekarung, jagung seongook dan seterunsnya, maka masyarakat yang teratur mangharuskan adanya takaran yang pasti, seperti liter, kilogram dan sebagainya. Maka cupak dan gantang, bungka nan piawai, serta taraju nan tak paliang, adalah lambang kateraturan yang diciptakan dengan lembaga adat.
Cupak nan dua adalah
1. Cupak Usali, dan
2. Cupak Buatan.
Kedua cupak ini menjamin change and continuity dalam adat Minang. Cupak Usali adalah adat yang baku dan permanen, sedang Cupak Buatan adalah adat yang ditetapkan oleh Orang Cadiak Pandai dan Ninik Mamak di nagari-nagari untuk merespon situasi dan perubahan zaman. Namun keduanya, yang tetap dan yang berubah, adalah lembaga yang diakui dalam adat.
Istilah cupak usali dan cupak buatan ini juga digunakan untuk mengkategorikan lembaga lainnya, apakah termasuk yang pusaka lama atau kesepakatan baru.
[edit] Kato nan Ampek
Kato adalah salah satu lembaga yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau: tanpa kato, adat Minang kehilangan legitimasinya. Dalam banyak masyarakat dahulu, kekuasaan dan undang-undang dipegang oleh raja karena keturunannya. Dalam masyarakat agamis, kekuasaan disandarkan pada otoritas wahyu, dan dalam masyarakat moderen yang demokratis, hukum didasarkan pada konstitusi dan undang-undang tertulis.
Bagi masyarakat Minang, kesahihan suatu hukum diukur dengan ada tidaknya kato-kato adat yang mendasarinya. Undang-undang dibuat oleh Cerdik Pandai, mufakat dibuat oleh seluruh kaum, hukum diputuskan oleh Penghulu. Akan tetapi landasan dan acuannya adalah kato. Suatu pernyataan atau keputusan haruslah sesuai dengan salah satu dari empat macam kato seperti di bawah ini:
1. Kato Pusako
2. Kato Mufakat
3. Kato dahulu batapati
4. Kato kudian kato bacari
Kato Pusako adalah pepatah petitih dan segala undang-undang adat Minangkabau yang sudah diwarisi turun temurun dan sama di seluruh alam Minangkabau. Kato Pusako ini merupakan acuan tertinggi dan tidak dapat diubah. Jumlahnya sangat banyak dan merupakan kompilasi kebijasanaan yang diambil dari falsafah Alam Takambang Jadi Guru.
Kato Mufakat adalah hasil mufakat kaum dan para penghulu yang harus dipatuhi dan diajalankan bersama-sama. Mufakat di Minangkabau haruslah dengan suara bulat, dan tidak dapat dilakukan voting. Dikatakan dalam pepatah adat:
Kemenakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka penghulu
Penghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka Nan Bana
Bana bardiri sandirinyo
Kato dahulu batapati, artinya keputusan yang sudah diambil dengan suara bulat itu haruslah ditepati dan dilaksanakan.
Kato kudian kato bacari, artinya keputusan itu ada kemungkinan tidak dapat dijalankan karena suatu hal. Dalam hal ini harus dicari pemecahannya, dilakukan musyawarah dan dibuat kesepakatan baru. Adalah bertentagan dengan adat jika suatu keputusan harus dipaksakan, tanpa memberi peluang untuk mengajukan keberatan atau banding.
[edit] Undang nan Ampek
Ninik moyang orang Minangkabau sudah menetapkan Undang-undang yang menjadi dasar pemerintahan adat zaman dahulu, mencakup pemerintahan Luhak dan Rantau, pemerintahan Nagari dan peraturan yang berlaku untuk Suku dan Nagari. Juga peraturan untuk individu.
1. Undang-undang Luhak dan Rantau
2. Undang-undang Nagari
3. Undang-undang dalam Nagari
4. Undang-undang nan Duopuluh
Undang-undang Luhak dan Rantau menyatakan bahwa di daerah Luhak berlaku pemerintahan oleh Penghulu sedang di daerah Rantau berlaku pemerintahan oleh Raja-raja.
Undang-undang Nagari menentukan syarat-syarat pembentukan suatu Nagari. Nagari boleh dibentuk jika sudah terdapat sekurangnya empat suku, yang masing-masing suku itu harus terdiri dari beberapa paruik. Suatu nagari harus mencukupi dibidang ekonomi dan budaya: mempunyai sawah ladang, balai adat dan mesjid, sarana transportasi, air bersih, lapangan bermain.
Undang-undang dalam Nagari mengatur hak dan kewajiban penduduk Nagari: saling bertolong-tolongan, tidak menyakiti dan menganiaya orang lain, membayar hutang dan mengembalikan barang yang dipinjam, meminta maaf jika bersalah, dan sebagainya. Di sini sangat berperan mekanisme kontrol yang bernama rasa malu
Undang-undang nan Duopuluh adalah undang-undang pidana: delapan bahagian merupakan tindak pidana, dan duabelas bagian merupakan tuduhan dan sangkaan.
Empat Undang-undang inilah pegangan para penghulu dalam menjalankan pemeritahan di Nagari-nagari, dengan dibantu oleh Manti, Malin dan Dubalang.

© http://minang.wikia.com/wiki/Adat