Pages - Menu

Senin, Juni 28, 2010

Budaya Unik dari Indonesia Termasuk Musik Indonesia

budaya Indonesia telah membentuk cara itu seluruh generasi antara itu kebiasaan adat dan tradisi asli dan beberapa pengaruh orang asing. Indonesia memainkan peran yang sangat penting yang tengah rute perdagangan antara Timur Jauh dan Timur Tengah yang telah menghasilkan banyak budaya dan banyak agama lain dan keyakinan.

Salah satu budaya yang luar biasa di Indonesia adalah unik seni negara-bentuk dan yang mengungkapkan kultur campuran. Ada pertunjukan boneka tradisional Indonesia yang sangat dipengaruhi terutama oleh Hindu dan Islam bahwa di antara penduduk desa Jawa. Budaya barat di sisi lain telah mempengaruhi Indonesia dengan fitur hiburan modern dan teknik seperti seni acara TV dan film bersama dengan lagu-lagu mereka. sistem politik mereka dipengaruhi terutama dari Barat itu.

Meskipun Indonesia telah dipengaruhi oleh banyak teman-teman asing, tempat-tempat terpencil banyak negara masih memiliki budaya yang unik dan cadangan negara, ritual, adat dan tradisi tua.

musik Indonesia telah menjadi bagian yang sangat besar dari masyarakat Indonesia sehingga peran yang sangat penting dalam setiap kehidupan Indonesia. Tari bersama dengan musik mereka juga telah menjadi bagian besar dari peradaban Indonesia. Ada banyak tarian tradisional yang sedang dimainkan dan dilakukan selama acara-acara khusus di beberapa tempat umum.

Selain tari dan musik Indonesia, drama Indonesia dan teater sedang dilakukan dalam acara Indonesia tertentu. Kinerja subyek dengan sejarah negara itu. Mereka benar-benar melakukan cerita rakyat dan bisa memainkan setiap karakter yang unik yang akan memberikan kehidupan terhadap kinerja.

Lukisan ini juga terkenal dengan Indonesia dan bahwa mereka sangat artistik dan rinci dengan warna-warni dan desain tradisional yang unik oleh orang Indonesia. Lukisan ini digunakan untuk menjadi latar belakang dari pertunjukan seni teater yang memberikan kehidupan untuk menampilkan.

Berikut adalah beberapa adat tradisional dan tradisi di belakang budaya Indonesia. Selama bertahun-tahun, kebudayaan mereka telah menyimpang dan banyak gaya dan teknik yang ditambahkan yang membuat budaya mereka lebih berwarna dan hidup. Ada banyak lagi yang bisa mengungkapkan dengan budaya Indonesia yang hanya ditemukan ketika salah satu adalah untuk menghubungkan dirinya dengan Indonesia dan mengenal mereka secara pribadi. Jadi mengunjungi negara yang indah ini kapan saja dan belajar lebih banyak tentang budaya hidup mereka dan cara hidup mereka.

Senin, Juni 21, 2010

Memahami Budaya Malu Jepang

Budaya
malu (shame culture) sejatinya
merupakan sikap dan sifat bangsa
Timur/Asia termasuk kita. Intinya
merupakan wujud hati nurani yang
benar, bukan hanya di permukaan
saja atau cari-cari publisitas saja.
Marilah kita menelsuri sikap hidup
(way of life) dan dasar falsafah hidup
masyarakat Jepang. Falsafah kuno,
Konfusianisme yang berasal dari
China banyak diserap para pendidik
besar Jepang, sebut, mulai dari
Baigan Ishido yang hidup dalam
eranya Edo (1600-1867)
menyampaikan pada masyarakat
Jepang prinsip hidup dalam
berinteraksi bisnis :
1.Seorang pengusaha sejati
memperoleh laba untuk dirinya dan
untuk orang lain. Jadi bukan egoistik
dasarnya,
2.Jangan memaksa pelanggan
membeli dengan menyembunyikan
produk/jasa yang justru disukai
pelanggan,
3.Usahakan hanya menjual produk/
jasa yang memberi manfaat
(beneficial) pada para pelanggan.
Sampai kinipun, bagi masyarakat
Jepang moral/akhlak konsep rinri
(bertata-krama), jiwanya dari China
kuno. Ajaran Konfusianisme di
Jepang sebagai falsafah hidup
dijunjung tinggi sebagai panduan
yang menjiwai identitas dan
tanggung jawab tidak hanya dalam
keseharian keluarga, tapi juga dalam
keseharian pelayanan brokrasi dan
kelincahan bisnis/mencari untung
dengan pertanggungjawaban sosial.
Petuahnya dijunjung tinggi dan
diwujudkan sebagai panduan
perilaku bisnis sampai sekarang di
sana, meskipun tidak eksplisit. Yang
terhitung dalam ‘rinri’ intinya sebagai
pemahaman tentang respek dan
rasa malu. Respek berarti tahu diri
dan menghargai orang lain tidak
hanya dalam keseharian keluarga,
tapi dalam interaksi bisnis antara
pengusaha dan masyarakat pasar.
Pada gilirannya, mereka yang tidak
memiliki rasa malu dianggap
memiliki kualitas minimal (minimum
quality of a human being).
Keberingasan dan kekejaman dalam
hidup sebagai banyak dipraktikkan
Barat sangat berlawanan dengan
sikap hidup dasar (way of life)
Jepang. Permusuhan dan
kekejaman dalam berbisnis dan
interaksi sosial ujung-ujungnya
merupakan kesalahan fatal.
Filsuf kuno Konfusius sudah zaman
dulu mengungkapkan secara halus
berikut ini “... kesalahan mendasar
kita adalah mempunyai kesalahan
dan tidak sudi memperbaikinya (the
real fault is to have faults and not to
amend it). ” Setiap kali seorang
Jepang membuat kesalahan fatal,
karena malu menggugat diri dengan
melakukan meditasi dan kemudian
memperbaiki diri atau
mengundurkan diri bahkan ada
yang sampai ber-harakiri (bunuh
diri), karena rasa malu.
Bagaimana kita? Dalam sikap dan
tingkah laku tergesa-gesa, apa
masih sadar dan mau menjiwai
budaya malu tatkala bohong atau
dengan muka sok paling jujur
berhadapan dengan kawan atau
lawan bicara, dan sampai hati
menyalahkan tanpa mau
menghargai/mendengar dulu sikap
kawan atau pandang lawan bicara,
hanya demi kemenangan uang?
Setiap anggota masyarakat harus
berani dengan fokus menatap
cermin setiap pagi sebelum sarapan
dan malam sebelum tidur selama
60 detik/satu menit, mengugat diri
dan bertanya yang ada di cermin
masih menghayati etika atau sudah
luntur budaya malunya ?
Terungkap sekalipun tidak ekspilisit
membangun saling percaya dalam
era keterbukaan dalam masyarakat
kecil sampai internasional, makin
sulit dan rumit. Yang seringkali
menonjol justru adalah saling
mencurigai (mutual distrust), antar-
pelaku organisasi sipil dan bisnis,
antar-berbagai kalangan masyarakat
sipil (civil society), antar-masyarakat
pasar dengan bisnis, sekalipun
dipolesi dengan senyum simpul
yang tampak tawar.
Kembali ke dasar-dasar kehidupan
manusia yang harmonis berarti
merupakan langkah utama
mereformasi diri, tanpa banyak
gebyar-gebyar/publisitas polesan.
Tegasnya dalam arti dari perilaku
saling mencurigai, kembali
membangun rangkaian saling
mempercayai (from a series of
distrust to a network of trust).
Dalam era yang banyak didengung-
dengungkan sebagai era globalisasi
yang patut disadari globalisasi tidak
berarti uniformitas menurut tafsiran
pencetusnya istilahnya, yakni
kalangan elit Amerika. Dalam tradisi
teori mereka, pasar bebas dalam arti
yang kuat menguasai yang lemah,
dan istilah moralitas, sistem nilai
etika, masing-masing individu
hanya dipermukaan saja.
Merasionalkan egoisme Barat
sebagai prinsip “untuk saya dulu
untungnya dan manfaatnya, anda
nanti nanti saja atau biarlah anda
menderita fisik dan psikis saja ”. Lalu
dengan keterbukaan sebagai
dampak kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, apa kita
terus menjiplak dengan
membiarkan gejala egoisme
tersebut dalam masyarakat kota dan
terus menjalar ke pinggiran kota
(sub-urbans) dan desa?
Dalam lokasi masyarakat dengan
interaksi sosial yang makin terbuka
meluas, tenggang rasa pada orang
lain, sejatinya merupakan salah satu
kunci yang lebih bermutu.
Walaupun realita dunia yang makin
terbuka, tantangan terus menerus
menggugat diri masing masing
terutama yang hidup di kawawan
kota dan pinggiran kota (sub-urban).
Mengapa dalam era keterbukaan dan
inovasi informasi komunikasi
melalui sarana Internet, facebook
dan twitter yang serba cepat, ada
yang sampai hati sengaja lupa diri
demi egoisme ala Barat
menjatuhkan martabat orang lain
yang ujung-ujungnya diri sendiri?
Oleh karena itu dalam setiap
kehidupan keluarga dan
bermasyarakat secara kontinu
sehari-hari dengan sikap pandang
etis ini masin-masing anggota
masyarakat yang dilayani merasa
dipercayai dan sebagai timbal balik
mau tulus mempercayai dengan
membalas budi dan jasa mutu
sesama dalam interaksi sosial.
*) Bob Widyahartono MA
(bobwidya@cbn.net.id) adalah
pengamat ekonomi bisnis Asia;
Lektor Kepala Fakultas Ekonomi
Universitas Tarumanegara (FE Untar)
.

Minggu, Juni 20, 2010

Aturan Sosial Dalam Pandangan Freud

Proses terbentuknya aturan sosial
adalah topik kajian yang
mempesona bagi pengkaji ilmu-
ilmu humaniora dan budaya.
Sigmund Freud adalah salah
seorang pemikir dari disiplin
psikologi yang ikut ambil bagian
menjawab bagaimana aturan sosial
terbentuk. Dalam tulisan ini penulis
memaparkan bagaimana
pandangan Freud terkait topik aturan
sosial. Namun agar tidak terjadi
lompatan yang sangat jauh,
sepatutnya dipahami terlebih dahulu
prinsip-prinsip mendasar pemikiran
Freud yang sifatnya sangat
individual, tidak langsung pada
ranah sosial.
Secara garis besar, Freud
menyampaikan beberapa prinsip
mendasar. Pertama, individu adalah
entitas yang terus-menerus
berdinamika –atau bisa disebut pula
berkonflik. Kedua, perilaku individu
merupakan representasi dorongan-
dorongan ketidaksadaran. Dorongan
ketidaksadaran yang dimaksud
Freud misalnya dorongan seksual,
dorongan menyakiti orang lain,
dorongan makan, dan sebagainya
yang sifatnya tidak disadari. Ketiga,
keluarga adalah sistem pertama
yang membentuk perilaku individu.
Keempat, keberhasilan
perkembangan seksual masa kanak-
kanak berpengaruh signifikan pada
perilaku seksual individu di
kemudian hari.
Prinsip-prinsip tersebut rupanya
menjadi dasar bagi Freud untuk
menjelaskan pembentukan dan
fungsi aturan sosial. Menurutnya,
aturan-aturan dalam kelompok atau
masyarakat dibentuk untuk
meresistensi (menekan) dorongan-
dorongan ketidaksadaran atau
merupakan cara menyamarkan
(defence mechanism) dorongan-
dorongan ketidaksadaran. Dalam
buku Totem dan Taboo (2002a),
Freud menguraikan panjang lebar
aturan-aturan pada suku-suku
primitif yang menurutnya
merupakan alat resistensi. Di
antaranya adalah larangan
hubungan/pernikahan sedarah
(inses).
Pada Suku Aborigin misalnya, laki-
laki pelaku inses dikenai hukuman
mati dan yang perempuan dikenai
cambuk atau tombak. Di Pulau
Leper, Kepulauan New Hebrides,
seorang anak laki-laki diharuskan
meninggalkan rumah pada usia
tertentu. Mereka boleh mengunjungi
rumah untuk makan hanya jika
saudara perempuannya tidak ada.
Perempuan harus menjauh atau
berpaling menyembunyikan diri jika
bertemu saudara laki-lakinya.
Mereka berdua dilarang saling
mengikuti. Bahkan tidak boleh
menyebut nama satu sama lain atau
menyebut kata yang memiliki unsur
nama masing-masing. Larangan
inses berlaku pula pada ibu, antara
lain mereka dilarang memberikan
makanan kepada anak laki-lakinya
secara langsung dan hanya boleh
memanggil mereka dengan nama
yang ditentukan oleh hukum adat.
Larangan tersebut menurut Freud
adalah alat resistensi dorongan
seksual pada masa kanak-kanak.
Suku-suku primitif telah
berpengalaman akan adanya hasrat
berhubungan seksual dengan
orang-orang terdekat, antara lain ibu
dan saudara perempuan, pada anak
laki-laki. Hasrat tersebut sebetulnya
sudah direpresi dengan aturan
keluarga. Namun demikian, ia masih
dianggap berbahaya, oleh karena itu
harus diresistensi dengan aturan
yang lebih kuat. Inilah yang
melandasi larangan inses (Freud,
2002a).
Dalam masyarakat primitif dikenal
pula taboo, yaitu kewajiban
melaksanakan ritual untuk objek-
objek tertentu serta larangan
mengadakan kontak dengannya.
Antara lain, ritual menyucikan benda
pusaka, larangan bertemu orang
yang sedang menstruasi, larangan
mengenakan baju orang yang
sudah meninggal, larangan duduk di
bawah pohon beringin, dan
sebagainya. Freud menilai dasar
aturan-aturan tersebut adalah
kepercayaan akan adanya kekuatan
berbahaya (setan) yang
tersembunyi dalam objek-objek
tertentu. Suku-suku primitif sangat
takut pada kekuatan-kekuatan
tersebut. Itu sebabnya mereka
membuat ritual khusus dan
membuat larangan mengadakan
kontak dengan objek-objek yang
dianggap berbahaya (Freud, 2002a).
Freud melihat taboo sama dengan
gejala neurosis kompulsif, di mana
penderita mempunyai ketakutan luar
biasa pada objek-objek tertentu,
padahal tidak ada kekuatan apa pun.
Mereka mempercayai bahwa benda-
benda bisa mencelakakan jika
disentuh atau diperlakukan tidak
baik. Neurosis kompulsif atau fobia
menyentuh dalam temuan
psikoanalisis adalah bentuk
kembalinya dorongan menyentuh,
biasanya terhadap bagian-bagian
khusus, pada masa kanak-kanak.
Dorongan itu dianggap tidak baik,
oleh karenanya harus dihambat.
Kerja dalam sistem taboo pun
demikian menurut Freud (Freud,
2002a).
Freud menyebut taboo sebagai
bentuk defence mechanism pula
(Freud, 2002a), misalnya terlihat
pada taboo yang diberlakukan pada
raja. Di Jepang misalnya, seorang
raja harus ditandu, karena jika kaki
menyentuh tanah, martabat dan
kesucian mereka akan tercemar.
Rambut, jenggot, kuku, dan apa
yang melekat di seluruh bagian
tubuh raja dipercaya memiliki
kesucian. Orang biasa tidak boleh
memotongnya kecuali raja dalam
keadaan kotor dan itu harus
dilakukan saat raja tidur malam.
Alasannya, mengambil di malam
hari berarti mencuri, dan pencuri
tidak bisa mencemari kesucian raja.
Raja Jepang jaman dahulu
diwajibkan duduk berjam-jam
setiap pagi tanpa menggerakkan
tangan atau kaki, karena jika mereka
melakukan tindakan itu, berarti tidak
mampu menjaga kedamaian dan
ketenangan kerajaan.
Aturan-aturan serupa terjadi pula
pada pendeta. Di Roma misalnya,
Pendeta Agung Jupiter tidak
diperbolehkan menunggang atau
melihat kuda dan orang bersenjata,
dilarang memakai cincin tanpa
sambungan, mengenakan simpul di
pakaian, menyentuh tepung
gandum atau ragi, menyebut nama
kambing dan anjing, dan dilarang
memakan daging mentah, buncis,
dan tumbuhan ivy. Pendeta agung
hanya boleh dicukur oleh orang
bebas. Itu pun harus menggunakan
gunting perunggu. Rambut yang
lepas dan kuku mereka yang
terpotong harus dikubur di bawah
pohon tertentu, tidak boleh
menyentuh orang mati, dan
dilarang keluar tanpa penutup
kepala.
Suku-suku primitif menyebut taboo
adalah bentuk perlindungan,
penghormatan, dan hak istimewa.
Tetapi tidak demikian dalam
pandangan Freud. Freud melihat
taboo adalah manifestasi kebencian
tak sadar kepada orang yang dilekati
(bisa raja, pendeta, atau kepala suku)
. Kebencian itu diawali oleh rasa
cemas akan datangnya kondisi
buruk dan rasa tidak percaya bahwa
raja, pendeta, atau kepala suku akan
melindungi rakyatnya. Kecemasan
dan ketidakpercayaan itulah yang
menyebabkan kebencian dan
kemudian dimanifestasikan dalam
bentuk pelekatan taboo yang super
ketat (Freud, 2002a). Dengan kata
lain, taboo adalah sarana untuk
menghukum sekaligus menjaga
agar orang-orang yang memegang
fungsi melindungi tidak membelot.
Di sini Freud memberikan satu lagi
jawaban dibentuknya aturan sosial,
yaitu menyamarkan keinginan
ketidaksadaran.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan
di atas, maka bisa diambil
kesimpulan sebagai berikut:
pertama, Freud memandang aturan
sosial dibentuk sebagai alat resistensi
terhadap dorongan-dorongan
ketidaksadaran individu. Dengan
kata lain, masyarakat dan individu
selalu terlibat dalam konflik; kedua,
selain untuk kepentingan resistensi,
aturan sosial dibentuk untuk
menyamarkan dorongan
ketidaksadaran individu; ketiga,
keluarga merupakan sistem pertama
yang membentuk ketaatan sosial;
keempat, masyarakat merupakan
kepanjangan tangan keluarga dalam
menjalankan fungsi represi
dorongan-dorongan ketidaksadaran;
kelima, keberhasilan perkembangan
psikoseksual sangat menentukan
perilaku sosial individu.
Kesimpulan ini sedikit banyak
didukung dan diperjelas oleh hasil
pembacaan Shaw & Costanzo
(dalam Sarwono, 2005, hlm.
136-137). Mereka mengungkapkan
pandangan-pandangan Freud
mengenai masyarakat dalam
delapan poin berikut ini:
1. Fungsi masyarakat adalah untuk
menghambat dan me-repress
insting-insting naluriah perorangan.
Ketertiban masyarakat ditentukan
oleh kemampuan ego-ego anggota
masyarakat yang bersangkutan
untuk menyesuaikan diri terhadap
tuntutan masyarakat. Kalau orang-
perorangan diizinkan untuk
sepenuhnya menyalurkan insting
masing-masing, maka tata tertib
masyarakat akan hancur atau
setidaknya kacau.
2. Keluarga adalah aparat dasar dari
masyarakat. Perkembangan anak,
proses sosialisasi, introyeksi nilai-
nilai masyarakat, dan pembentukan
moral dilakukan dalam keluarga.
3. Ego bertugas sebagai perantara
antara batas-batas sosial dan
insting-insting. Untuk itu digunakan
berbagai teknik pertahanan ego dan
kontrol agar kedua pihak
terpuaskan. Sistem ego yang
berfungsi baik merupakan prasyarat
agar seseorang dapat bertahan
dalam suatu lingkungan sosial.
4. Manusia dan lingkungan sosialnya
selalu berada dalam konflik yang
tiada henti. Masyarakat berada
dalam posisi di atas dalam konflik ini
karena individu takut pada ancaman
destruktif masyarakat.
5. Kelompok-kelompok dan
masyarakat terbentuk sebagai
kelanjutan keterikatan libido (hasrat
seksual) anak terhadap orangtuanya.
Keluarga menjadi prototipe
hubungan masyarakat. Orangtua
melindungi, memberi makan, dan
menghukum. Mereka akan menjadi
contoh pemimpin-pemimpin dalam
masyarakat. Perlindungan dan
perawatan mereka mendasari
ketergantungan individu terhadap
pemimpinnya, sedangkan
hambatan dan hukuman terhadap
insting-insting menimbulkan rasa
bermusuhan dan takut.
6. Keadilan sosial timbul dari
perasaan saling membutuhkan dan
saling memenuhi antaranggota
masyarakat. Dasarnya adalah
persaingan untuk merebut perhatian
pemimpin. Bentuk asalnya dalam
keluarga adalah persaingan
antarsaudara (sibbling rivalry).
Menurut Freud, keadilan sosial
adalah bentuk reaksi dari hasrat
ingin memiliki.
7. Pranata-pranata sosial seperti
hukum dan agama dibentuk untuk
melindungi manusia dan
masyarakat dari insting-insting
agresif, bermusuhan, dan seksual.
Pranata ini merupakan pengganti
larangan orangtua.
8. Freud beranggapan bahwa
pembentukan masyarakat tidak
disebabkan oleh adanya satu atau
dua objek (orang) yang mempunyai
kekuatan luar biasa, tetapi
disebabkan oleh sublimasi
(peralihan) dan seksualisasi libido ke
dorongan persahabatan.
Di akhir tulisan ini penulis
menyampaikan bahwa pandangan
Freud hanya salah satu dari sekian
banyak pandangan lain mengenai
topik yang sama. Lebih dari lima
paradigma yang mengajukan tesis
mengenai terbentuknya aturan
sosial. Masing-masing memiliki sisi
relevansi dengan yang terjadi
sehari-hari dan ada pula yang tidak.
Freud sendiri mendapat banyak
kritik dari berbagai sisi, di antaranya
dari sisi keilmiahan, agama, dan
budaya.

Jumat, Juni 18, 2010

Senyum Topeng Yang Kini Menangis

Tari Topeng Malang yang begitu membudaya di daerah Malang dulu pernah meraih puncak kejayaannya pada tahun 70-an. Kesenian ini mampu membuat tenar nama Kota Malang sebagai rujukan kota wisata di wilayah Jawa Timur. Namun bagaimana nasib kesenian daerah yang pernah menjadi ikon Kesenian daerahnya kini ?

Ekspresi batin mereka di panggung even itu terlihat sumringah meskipun dalam hati sayu. Gerakan apik yang dimainkan oleh 12 pelakonnya sarat nilai estetis, namun terasa berat dijalankan ketika mereka mengaca pada kehidupan sehari-hari mereka sebagai pahlawan kesenian daerahnya.

(Tarian) Topeng Malang yang selama ini menjadi pemicu semangat dalam menghadapi aral rintangan kehidupan kini kurang mampu “memperjuangkan” nasib mereka. Namun di benak mereka tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan untuk saling bernegosiasi nasib agar seni ini tetap hidup dan menghidupi mereka. Di tengah momen Malang Kembali ini, para seniman ini bergulat dengan sang waktu agar tetap eksis di tengah hiruk pikuk pengunjung.

Ya, itulah nasib yang dialami oleh karya kesenian ini sekarang. Nasib para pejuang karya budaya inipun sekarang terkatung-katung tergilas oleh roda zaman tergantikan oleh ganasnya alur globalisasi. Seakan bertolak belakang dengan yang ada, Peni Suparto, walikota Malang, yang berperan sebagai pembuka acara ini mengeluarkan statement “sebagai warga kota Malang yang baik, kita harus siap senantiasa menjunjung hasil karya sejarah kota tercinta ini.” Namun di balik panggung pementasan, Handoyo sebagai pemimpin rombongan penari topeng mengatakan bahwa kontribusi riil yang didapat dari masyarakat dibandingkan dengan apa yang mereka perjuangkan dari usaha menampilkan kesenian ini sangat pas-pasan. “Ya, mungkin hanya cukup untuk menghidupi keluarga selama 5 hari”, ucapnya diiringi senyum kepasrahan. Dulu, ketika di masa jaya-jayanya hampir seluruh warga Malang mengenal dan menyukai kesenian ini. Gerakan, sanepan, lelucon dan berbagai atribut kesenian yang berbasis seni Jawa ini begitu diagungkan.

Ditemui di kediamannya, Karimun (89 th), seorang sesepuh topeng Malang yang sering berujar “endi arek-arek iki?” (di mana sekarang anak-anak/para penerus?) Seakan batinnya menangis jika mengenang memori manis masa lalunya. Berumah di lokasi sentral kesenian topeng Malang, dusun Kedungmonggo, desa karang pandan, kecamatan pakis aji dia sering tergolek karena tubuhnya telah digandrungi oleh penyakit tua.

Dua tahun yang lalu saya bertemu dengan sosok yang biasa dipanggil Mbah Mun itu. Waktu itu, dia terlihat masih bersemangat untuk memahat topeng dengan tangannya sendiri. “Biasanya satu topeng yang terbuat dari kayu nangka waktu buatnya 3 hari. Kalo waktu muda dulu, 1 hari satu topeng bisa”. Mbah Mun juga berkisah, “Dulu jika kita melakukan pementasan di sanggar, jumlah penonton seakan membludak sampai keluar halaman sanggar. Tapi sekarang hanya sampai tangga sanggar saja” . Menurutnya pemerintah kurang memperhatikan nasib kami sebagai seniman. Padahal pada waktu pemilihan Umum banyak calon pemimpin itu sowan kesini. Lali be`e.` (lupa barangkali). Ketika ditanya tentang harapannya t okoh yang menjadi sesepuh ilmu kejawen di Malang ini dengan arif menjawab, “Wong urip kuwi kudu seng sabar lan nrimo” (orang hidup itu harus selalu sabar dan menerima).

Diapun tidak pernah menuntutnya di kemudian hari. Sehingga apa-apa yang telah dijanjikan tidak kunjung terwujud. Sebenarnya, masih banyak para pahlawan kesenian yang nasibnya sama dengan Mbah Karimun, Handoyo dan kawan-kawannya. Selanjutnya, tinggal pemerintah yang seharusnya turut serta mengibarkan bendera topeng Malang sehingga para pemain tidak sibuk dengan pekerjaan sehari-hari mereka. Dan hasilnya, kesenian nini tidak lekang ditelan zaman.