Pages - Menu

Minggu, Agustus 22, 2010

Kesenian…milik siapa

Sebagaimana telah kita pahami bahwa kesenian di semua daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Ini tidak saja berlaku untuk kesenian rakyat namun juga kesenian kontemporer. Kabupaten Purworejo yang memiliki berbagai macam kesenian, sudah saatnya memiliki konsep jelas kemana arah kesenian akan dibawa. Banyak pihak sudah “memikirkan” perkembangan kesenian ini. Namun, banyak pihak juga yang berhenti hingga sampai titik “memikirkan”. Tanpa memperjelas solusi yang harus dilaksanakan. Apalagi arah / titik dimana akan “ditempatkan” kesenian di masa yang akan datang. Tulisan ini semoga menjadi bahan perenungan kita bersama, semua pihak entah birokrat maupun pelaku seni, perorangan / pemerhati seni atau bahkan pihak swasta sekalipun yang memiliki kepedulian akan seni budaya. Pokoknya siapapun.
Patut kita sadari bersama, bahwa keanekaragaman seni yang ada di Kabupaten Purworejo membutuhkan perhatian. Banyak pihak sudah yang penulis temui baik langsung maupun tidak (misal melalui media internet) yang memberikan masukan kepada semua pihak berkenaan kegiatan seni budaya di kabupaten tercinta. Mulai dari pertanyaan tentang jenis-jenis kesenian yang sampai saat ini masih hidup di kabupaten tercinta, hingga mempertanyakan kesenian yang akan mati dan atau mati suri, sampai ada yang hanya sekedar menanyakan bentuk pementasan dari suatu jenis kesenian. Dari titik itulah penulis berkesimpulan bahwa tidak sedikit orang Purworejo baik yang didalam maupun diluar daerah yang memberikan perhatian pada bidang kesenian. Bahkan diantaranya memiliki rasa memiliki yang teramat mendalam mengenai kesenian daerah. Ini dimaklumi, karena apapun bentuk keseniannya jika itu dari daerah asal akan menjadi tali pengikat yang sangat kuat bagi warga purworejo yang berada di luar daerah. Bagaimana rasanya seseorang yang tiap hari bergulat mencari nafkah jauh dari tanah kelahirannya …. menghadapi persaingan, bekerja keras dan segala macamnya.. tiba-tiba saja mendapatkan informasi tentang kesenian di daerahnya atau bahkan berkesempatan untuk menonton kesenian daerahnya tampil di kota dimana mereka tinggal. Bagaikan oase di tengah gurun yang kering. Itulah mengapa mereka banyak memberikan masukan tentang kesenian, disamping para pelaku seni di dalam daerah.
Kesenian bisa menjadi “wajah” suatu daerah. Banyak sudah pementasan yang dilaksanakan di luar daerah membuktikan itu. “Kedigdayaan” kesenian menjadi wakil daerah setidaknya memunculkan bentuk apresiasi dari para penikmat seni. Para penikmat seni bisa berasal dari putra daerah yang tinggal di daerah lain, maupun warga setempat yang memang mencari sekedar hiburan. Apa yang dipersembahkan oleh duta seni menjadi “wakil” dan sekaligus “wajah” kabupaten tercinta.
Disamping itu kerja keras untuk memberikan ruang ekspresi seni bagi para penggiat kesenian dan sekaligus sebagai wahana ekspresi bagi masyarakat luas menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Kehidupan berkesenian yang selama ini ada seakan menemui jalan buntu ketika beberapa pementasan lokal tidak diadakan. Akhirnya semua kembali ke masyarakat (lagi). Padahal dibutuhkan sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Di masa yang akan datang mestinya “ruang” itu dapat kembali dihidupkan. Sehingga diharapkan dapat komplit sinergi yang terbentuk antara masyarakat dan pemerintah. Sekali lagi …(mestinya) kesenian bukan hanya milik masyarakat saja…kita semua memiliki kewajiban untuk mendukung..membina bahkan mengembangkan.
Jangan sampai ketika orang / pihak lain mengklaim kesenian kita… baru terasa ada yang terbakar dibawah dagu kita. Dan kita hanya bisa berguman : “O iya ya… kita selama ini telah lengah mengurusi kesenian.”
Mari kita selamatkan kesenian Purworejo, selamatkan seni budaya kita. Saat ini…hal inilah yang harus kita laksanakan.
Salam budaya…

KESENIAN INCLING DESA SEMAGUNG KECAMATAN BAGELEN

Riwayat singkat Kesenian Incling ini sebenarnya bersumber dari sebuah cerita yang terdapat di Jawa Timur dan khususnya Karesidenan Madiun yang berpusat di Ponorogo.

Adapun cerita ringkasnya adalah sebagai berikut :

1. Di Ponorogo ada seorang bernama Suromenggolo, ia seorang yang sakti mandraguna. Dalam hidupnya ia mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Sarinten, ia adalah wanita yang sangat cantik sekali. Karena kecantikannya itu ia dilamar oleh seorang dari Trenggalek bernama Singalodra. Karena Sarinten tidak mau, maka Sarinten dibunuh oleh Singajaya atas perintah Singalodra.

2. Karenanya marahlah Suromenggolo. Sehubungan dengan itu ia memasang umbul-umbul sebagai tanda menantang perang terhadap Singalodra. Umbul-umbul tersebut terlihat pula oleh Singalodra dan kawan-kawannya. Terjadilah peperangan.

3. Dalam peperangan ini mereka masing-masing saling mengerahkan prajurit. Keduanya sangat kuat. Singalodra mengeluarkan kekuatannya/kesaktiannya dengan gigi siungnya, sedang Suromenggolo dengan kekuatan/kesaktiannya pada cemeti/pecut.

4. Abdi-abdi Suromenggolo dalam keadaan yang demikian ini tidak dapat berbuat lebih bayak. Mereka hanya bimbang/bingung. Padahal seharusnya ia memihak pada bendara atau tuannya. Kadang-kadang ia menggambarkan peperangan ini bagaikan pertarungan ayam jantan (adu jago). Sebagai gambaran bahwa seekor ayam akan bertarung dengan gigihnya bahkan sampai matipun ia rela.

Dengan gambaran abdi-abdi yang demikian itu dapat ditangkap oleh kedua prajurit. Sehingga mengakibatkan peperangan semakin seru. Mereka masing-masing saling menggunakan kekuatan lahir : silat, pedang dan lain sebagainya. Kekuatan batin dengan berbagai macam ilmu kebatinan.

Demikianlah cerita singkat tentang Kesenian Incling Semagung yang diilhami dari cerita aslinya dalam cerita Singalodra melawan Suromenggolo.

Kesenian Cing Poo Ling

Kesenian Cing Poo Ling menggambarkan prajurit yang sedang latihan perang. Tema ini tetap bertahan sampai sekarang. Kesenian Cing Poo Ling merupakan kesenian tradisional sejenis atau reogan mengalami perkembangan sebagai tari perang dan bertemakan tentang kepahlawanan. Biasanya yang diambil dalam kesenian jathilan, reog maupun sejenisnya adalah cerita panji, namun kesenian Cing Poo Ling di Desa Kesawen, Kec. Pituruh memiliki ciri khas yaitu tentang keprajuritan sebagai pengawal.

Kesenian ini diperkirakan muncul pada abad XVII. Bermula dari kegiatan pisowanan ke kraton yang dilakukan oleh Ki Demang. Dimana pada saat menunggu pisowanan, para pengawal Ki Demang melakukan permain dengan menggunakan gerakan-gerakan keprajuritan.

Asal mula nama Cing Poo Ling terdapat beberapa versi, dua diantaranya adalah

Pada perkembangannya, kesenian Cing Poo Ling peraganya terdiri dari :

1. Kelompok pertama terdiri dari : 4 (empat) orang penari yang berperan : 1 orang sebagai Ki Demang, 2 orang sebagai pendamping (gandhek), 1 orang penyongsong.
2. Kelompok kedua terdiri dari : 4 (empat) orang penabuh yang terdiri dari 3 (tiga) orang berperan sebagai penabuh bendhe dan 1 (satu) orang sebagai juru tiup slompret.
3. Kelompok ketiga terdiri dari : 9 (sembilan) orang yang terdiri dari : 1 (satu) orang pemayung, 2 (dua) orang pemencak, 2 (dua) orang pendamping, 2 (dua) orang penipung, 2 (dua) orang pengecrek.
Penyelenggaraan di ruang terbuka, misalnya lapangan, halaman depan rumah. Walaupun pada awalnya hanya di lingkungan kadipaten tempat pisowanan berlangsung. Penonton dan penari dalam jarak yang dekat. Diurasi waktu pementasan sekitar 1 - 2 jam. Namun karena pertimbangan dan perkembangan, bisa dipadatkan menjadi ½ jam.



Keterangan :

pisowanan : adalah sebuah tradisi dalam kerajaan-kerajaan Jawa, di mana bawahan-bawahan raja / sultan datang (sowan) ke istana untuk melaporkan perkembangan daerah yang dipimpinnya. Pisowanan boleh dikatakan merupakan sebuah wujud pertanggungjawaban pemimpin-pemimpin daerah kepada raja. Setelah mendengarkan laporan dari para bawahannya, raja/sultan biasanya akan memberikan nasehat, teguran, ataupun perintah (titah) bagi masing-masing pemimpin daerah.