Pages - Menu

Jumat, Juli 02, 2010

Budaya Premanisme Ancam Kebebasan Pers?

Budaya premanisme ternyata
bukan hanya membayangi para
pejalan kaki. Para premanisme
belakangan ini juga mulai
membayangi pers dalam bekerja.
Mereka pun melakukan
metamorfosis dengan lebih
profesional.
Masing ingat dalam ingatan kita
yakni pendudukan kantor harian
Indopos di Graha Pena,
Kebayoran Lama, Jakarta selatan,
pada Selasa 20 Desember 2005
lalu sekira pukul 21.30 WIB.
Penyerangan ini diduga setelah
media cetak itu menurunkan
tulisan tentang aktifitas Hercules
setelah tidak lagi berkuasa di
Tanah Abang. Hercules menilai
tulisan itu menyudutkan dirinya
karena selama ini ia mengaku
tidak pernah berbuat kejahatan
ataupun perbuatan lain yang
merugikan umum di kawasan
Tanah Abang.
Saat itu Herkules dan beberapa
temannya datang berusaha
mencari wartawan yang menulis
berita tersebut. Namun karena
tidak bertemu mereka
menyandera sejumlah wartawan
yang sedang bekerja.
Sejumlah wartawan yang
menolak untuk tidak mematikan
komputer mandapat
penganiayaan, bahkan salah
seorang wartawan dirawat di RS
Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta
Selatan.
Kasus terbaru yakni pendudukan
media oleh sejumlah orang di
kantor stasiun televisi TPI, Taman
Mini Indonesia Indah, Jakarta
Timur pada Sabtu 26 Juni siang.
Sejumlah orang datang ke kantor
tersebut dan melakukan
pemasangan sejumlah poster.
Meskipun mereka tidak melakukan
tindakan kekerasan, namun
mereka memasuki pekarangan
orang tanpa izin.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI) Imam Wahyudi
mengatakan, peristiwa
pendudukan paksa seperti
kemarin mestinya tidak dilakukan
karena akan berdampak buruk
kepada masyarakat.
Terlepas apakah sengketa tersebut
masuk ke ranah pribadi atau
bukan, namun hal tersebut dapat
mengancam kebebasan
berekspresi. Kini dunia jurnalis
semakin terancam dengan
munculnya budaya kekerasan.
Cara kekerasan seperti tidak
seharusnya kembali terjadi. Jika ini
terus bermunculan, dikhawatirkan
akan ada lagi pihak yang kritis dan
terbuka. Dan ini akan
membungkam kebebasan Pers
dalam memberitakan sebuah
kebenaran.

0 komentar: