Pages - Menu

Kamis, Juli 22, 2010

KESENIAN CEKOK MONDHOL

Kesenian Cekok Mondhol merupakan kesenian tradisional kerakyatan yang bernuansa keagamaan Islam. Kesenian ini tumbuh dan berkembang di Desa Ngasinan Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo dan sekitarnya. Letak desa ini di daerah pegunungan, perbatasan Kabupaten Purworejo dengan Kabupaten Wonosobo. Berawal dari ide sekelompok pemuda desa, komunitas pengajian untuk membentuk grup kesenian yang bisa dijadikan hiburan sekaligus tuntunan. Gerak, lagu dan syairnya serta musik iringannya hasil adaptasi dari kesenian yang ada di daerah Magelang yaitu Kubro Siswo yang kemudian dimodifikasi dengan hasil kreativitas para pemuda setempat, dipelopori oleh pemuda yang bernama Purwadi sekitar tahun 1970-an.

”Cekok” adalah istilah Jawa yang memiliki arti memasukkan jamu atau obat ke mulut yang berguna untuk kesehatan tubuh. ”Mondhol” juga istilah Jawa yang artinya bungkusan kain yang diikat. Relevan dengan syair lagu yang berisi nasehat keagamaan Islam, hidup bernegara dan bermasyarakat, maka harapannya nasehat yang diberikan tersebut disimpan untuk dijadikan tuntunan hidup, hal ini dapat dilihat dari simbol yang ada pada kostum tyaitu blangkon yang terdapat mondholannya.

Gerak tarinya energik dengan dominasi gerak kaki. Ditarikan oleh kaum laki-laki karena banyak hentakan kaki. Kostum yang dipakai adalah surjan lengkap dengan celana komprang, kain batik, lontong, kamus (sabuk), blangkon yang terdapat mondholannya. Alat musiknya terdiri dari kenthongan sejumlah 3 buah, ketipung sejumlah 4 buah yang terbentuk dalam 1 set, bedhug sejumlah 1 buah dan tamborin sejumlah 1 buah. Kesenian ini sering ditampilkan pada acara-acara yang diselenggarakan oleh desa setempat dan sekitarnya, juga orang yang punya hajatan dan pada festival kesenian rakyat.

KESENIAN SOYAR MAOLE

Kesenian kentrung rebana SOYAR MAOLE saat ini sebarannya meliputi beberapa dusun di Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing. Untuk gambaran kesenian Soyar Maole di Dusun Jetis Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo sebagai berikut :

Menurut riwayat tidak tertulis dari para pendahulu/leluhur Desa Kaligono, kesenian Kentrung Rebana Soyar Maole sudah ada sejak tahun 1907, yang kemudian secara tradisi diteruskan oleh generasi ke generasi walaupun menjalani pasang surut, masih tetap bertahan sampai sekarang.

Konon menurut cerita, pada tahun 1907 terdapat seorang warga Desa Kaligono yang menunaikan ibadah haji. Sekembali dari ibadah haji, beliau mengajarkan agama Islam di Desa Kaligono. Metode dakwah yang dilakukannya dengan berbagai cara, salah satunya adalah lewat kesenian yang berkembang pada masa itu. Metode dakwah tersebut konon diperoleh dari Sunan Kalijaga.

Kesenian ini disajikan oleh 6 orang atau lebih pemusik dan 10 orang penyanyi (walaupun terdapat grup yang memiliki anggota hingga 20 orang). Alat musik terdiri dari kendang (1 buah), ketipung (1 buah), rebana (3 buah), rebana besar (1 buah), kecer (1 buah). Lagu yang dibawakan melantunkan syiar keislaman yang diambil dari Kitab Al Qur’an yang dikolaborasikan dengan bahasa jawa dan (saat ini) bahasa Indonesia.

Asal Kata SOYAR MAOLE

Menurut Bau Sastra Jawa Penerbit Kanisius

Soyar = ngandhakake kandhane wong lia (berdakwah)

Artinya : mengatakan perkataan orang lain/berdakwah.

Maole dari kata mole = molor (bertambah panjang)

Maka SOYAR MAOLE diartikan : mengatakan perkataan orang lain/berdakwah sampai waktu yang panjang atau terus menerus hingga agama berkembang luas.

Sumber lain mengatakan :

Soyar dari kata moyar = orang hidup yang berkeluyuran tanpa tujuan.

Maole dari kata maulud = lahir (kelahiran) disini dititik beratkan kepada kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Maka SOYAR MAOLE berarti : orang hidup jangan hanya berkeluyuran, ingatlah apa yang dikatakan/diperintahkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW

Di Desa Kaligono khususnya di Dusun Jetis berkembang secara terorganisasi mulai tahun 1925. Yang kemudian diberi nama Organisasi Kesenian SOLAWATAN SOYAR MAOLE KARANG BINANGUN.

KESENIAN DOLALAK

Asal mula kesenian dolalak adalah akulturasi budaya barat (Belanda) dengan timur (Jawa). Pada jaman Hindia Belanda Purworejo terkenal sebagai daerah / tempat melatih serdadu / tentara. Sebagaimana tentara pada jamannya, mereka berasal dari berbagai daerah, tidak hanya Purworejo saja dan dilatih oleh tentara/militer Belanda. Mereka hidup di tangsi / barak tentara.
Ketika mereka hidup di tangsi tersebut, maka untuk membuang kebosanan mereka menari dan menyanyi saat malam hari, ada pula yang melakukan pencak silat dan dansa. Gerakan dan lagu yang menarik kemudian menjadi inspirasi pengembangan kesenian yang sudah ada yaitu rebana (kemprang) dari tiga orang pemuda dari dukuh Sejiwan desa Trirejo Kecamatan Loano yaitu :
1. Rejo Taruno
2. Duliyat
3. Ronodimejo
Ketiga orang tersebut bersama dengan warga masyarakat yang pernah menjadi serdadu Belanda membentuk grup kesenian. Awalnya pertunjukan kesenian tersebut tidak diiringi instrumen, namun dengan lagu-lagu vokal yang dinyanyikan silih berganti oleh para penari atau secara koor. Perkembangan berikutnya setelah dikenal dan digemari oleh masyarakat, pertunjukan kesenian ini diberi instrumen/iringan dengan lagu-lagu tangsi yang terasa dominan dengan notasi do-la-la. Dalam proses perkembangannya dari pengaruh jaman dan kondisi kemasyarakatan serta penyajiannya maka kesenian ini kemudian menjadi Dolalak.
Busana yang dikenakan oleh penarinya terpengaruh nuansa pakaian serdadu Belanda. Ini dapat kita lihat dari baju lengan panjang dan celana tanggung dengan warna gelap/hitam, pangkat atau rumbai di bahu dan dada, topi pet dan kaca mata hitam. Sampur dipergunakan sebagai pelengkap busana, yang merupakan kebiasaaan orang Jawa dalam melakukan kegiatan menari yang selalu menggunakan sampur/selendang.
Adapun penyebaran tari Dolalak ini dimulai dari Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo, kemudian “merembes” ke wilayah sekitarnya.
Dolalak biasanya disajikan semalam suntuk yaitu antara 4 hingga 6 jam dengan jumlah penari yang banyak (tari kelompok) dan pada puncak pertunjukan salah satu penarinya akan trance (mendem) yaitu adegan dimana penari akan melakukan gerak-gerak di luar kesadarannya. Sajian Dolalak membutuhkan tempat yang luas karena berupa tari kelompok. Sajian Dolalak menampilkan beberapa jenis tarian yang tiap jenis dibedakan dengan perbedaan syair lagu yang dinyanyikan dengan jumlah 20 sampai 60 lagu dan tiap pergantian lagu berhenti sesaat sehingga ada jeda tiap ragam geraknya.
Hingga saat ini pengembangan tarian tradisional Dolalak tidak saja di kelompok tari/grup. Pemerintah Kabupaten Purworejo melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pembinaan dan pelatihan hingga sekolah-sekolah di seluruh Kabupaten Purworejo. Bahkan telah dipentaskan secara massal oleh siswa pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2009 di Alun-alun Purworejo dan seluruh Kecamatan se-Kabupaten Purworejo dengan jumlah peserta 2.100 anak di Alun-alun dan sekitar 16.000 siswa di semua kecamatan.

Selasa, Juli 06, 2010

Berkat Lagu Waka Waka Piala Dunia 2010 Kini Shakira Merambah Bollywood

Ratu musik pop Kolombia, Shakira—yang juga bintang ”Waka Waka”, lagu Piala Dunia 2010—akan menyanyi untuk film buatan Bollywood. Ini adalah langkah terbaru selebriti global itu untuk merambah pasar India.

Shakira, yang dipuja sekaligus dikritik karena jadi bintang pada pembukaan Piala Dunia 2010 di Benua Afrika, akan mengikuti langkah rekan sesama diva, Kylie Minogue, yang tahun lalu juga merambah ke Bollywood.

Shakira dianggap berhasil menggoyang dunia dengan tarian bersama anak-anak sekolah di Soweto, tetapi membikin iri artis lokal yang tidak mendapatkan order layaknya Shakira.

Lagu yang akan dinyanyikan Shakira dikarang oleh sebuah tim yang dikenal dengan Salim-Sulaiman, yang berkolaborasi dengan para penyanyi Afrika Selatan untuk merekam ”Waka Waka” (Kini Saatnya bagi Afrika). Lagu ”Waka Waka” didasarkan pada sebuah lagu tradisional tentara Afrika. ”Kami berharap rekaman sudah bisa dimulai bulan depan,” kata Salim Merchant.

Tidak disebutkan judul film yang akan menampilkan lagu Shakira itu. ”Akan ada pengaruh Latin di dalam lagu itu,” lanjut Salim.

Menurut RadioandMusic.com, ”Waka Waka menempati urutan pertama tangga-tangga lagu di 15 negara, seperti Argentina, Austria, Belgia, Cile, Kolombia, Finlandia, Perancis, Jerman, Belanda, Italia, Luksemburg, Paraguay, Portugal, Afrika Selatan, Spanyol, Swiss, Meksiko, dan lainnya. Lagu ini juga dipasang di situs YouTube dan dibuka rata-rata oleh 2 juta penjelajah internet setiap hari.

Ketenaran Shakira juga membuat pria berpikir nakal soal wanita berlatar belakang Katolik dan dengan ayah punya akar Lebanon. Tidak sedikit yang menginginkan dia tampil telanjang saat bernyanyi atau berfoto. ”Saya tidak mau dan tidak harus. Saya tidak akan menari telanjang,” kata Shakira kepada contactmusic.com.

Shakira memiliki kehidupan yang tenang di Kolombia utara dengan latar belakang keluarga yang beretika yang membuatnya enggan memenuhi keinginan sebagian penggemarnya itu.

Merayakan Budaya Panginyongan Di Banyumas

Tentang asal-usul Banyumas. Tri Atmo (70), wartawan sepuh dan penyiar Radio Tunggul Purbalingga, punya catatan menarik dalam buku Mengenal Purbalingga, Banyumas (1993) dan Kilas Sejarah Purbalingga-Banyumas (2008). Menurut dia, Banyumas sekarang bermula dari Kadipaten Wirasaba.

Daerah itu menjadi taklukan zaman Majapahit, kemudian Kerajaan Pajang. Di sini, kemudian berdiri Kadipaten Banyumas tahun 1582 dan masuk dalam kekuasaan Kerajaan Mataram dan kemudian Kasunanan Surakarta. Seusai pemberontakan Pangaren Diponegoro tahun 1830, kabupaten ini masuk dalam kekuasaan Belanda dan ditetapkan sebagai karesidenan.

”Lama sekali Banyumas jadi daerah taklukan,” kata Tri Atmo.

Menurut budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, posisi sebagai daerah taklukan membuat Banyumas terpinggirkan. Istilahnya, adoh ratu, cedhek watu: jauh dari keraton, lebih dekat dengan batu atau alam pedesaan. ”Wilayah ini berkembang sepenuhnya dalam budaya wong cilik,” katanya.

Menggeliat dalam kultur pertanian, masyarakat di sini menjadi lebih terbuka dan tanpa kelas alias egaliter. Tak mementingkan sopan santun berlebihan, perilaku dan bahasanya cenderung cablak, apa adanya. Karakter semacam itu mirip Bawor, tokoh bayangan Semar, dalam gagrag Banyumasan. Sosok ini selalu diceritakan sebagai orang yang jujur, lugas, dan tak bersembunyi di balik kata-kata yang dilembut-lembutkan, eufimisme.

Kar esidenan Banyumas itu terus berkembang dengan wilayah mencakup Kabupaten Banyumas (dengan ibu kota Purwokerto), Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap. Saat Indonesia merdeka, kawasan ini masuk Provinsi Jawa Tengah.

Hanya saja, pada masa Orde Lama dan kemudian Orde Baru, budaya wong cilik itu juga masih tertekan. Di bawah kekuasaan Orde Baru yang berorientasi feodal Jawa keraton, rakyat Banyumas diremehkan dengan sebutan ”wong ngapak-ngapak”. Bahasanya yang ngoko, banyak berakhiran ”a”, serta terdengar kasar dan medhok itu dipandang lebih rendah ketimbang bahasa Jawa halus keraton seperti di Solo dan Yogyakarta.

Terlebih, bahasa ”ngapak-ngapak” itu juga dipakai pelawak di televisi sebagai bahan tertawaan. Semua itu semakin mendorong budaya rakyat itu terpuruk. ”Saking mindernya, sebagian orang Banyumas sendiri menyembunyikan budaya aslinya. Dengan segala cara, mereka mendekatkan diri pada budaya Jawa keraton,” kata Tohari, yang juga pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Berubah

Reformasi tahun 1998 mengubah peta politik Indonesia menjadi lebih terbuka. Kebebasan yang menyeruak bersamaan dengan laju otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung pelan-pelan menerbitkan kepercayaan diri masyarakat di daerah, termasuk Banyumas. Sejak awal tahun 2000-an, meletup gairah untuk membangkitkan kembali budaya lokal.

Muncul beberapa paguyuban yang terang-terangan menghidupkan kembali budaya Banyumasan. Sebut saja, antara lain, kelompok Serulingmas (Seruan Eling Banyumas), Paguyuban Kerukunan Keluarga Banyumas (KKB), Pakudimas (Paguyuban Keluarga Dialek Banyumas), Yayasan Sendang Mas, atau Keluarga Mahasiswa Banyumas.

”Semua kelompok itu, baik yang bermarkas di sini atau di kota lain, berusaha membangun kembali budaya enyong wong Banyumas,” kata Tohari. Dia sendiri menerjemahkan beberapa novelnya dalam bahasa Banyumas dan menjadi pemimpin redaksi majalah berbahasa Banyumas: Ancas, Kalawerta Panginyongan.

Kemajuan teknologi dan informasi dimanfaatkan kaum muda untuk mengukuhkan rasa percaya diri pada budaya lokal. Beberapa radio menghidupkan siaran berbahasa lokal, sejumlah penggiat dunia maya membuat blog Banyumasan di internet. Kelompok yang melek video memproduksi film independen yang merekam kehidupan rakyat.

”Kehadiran kelompok-kelompok pembuat film tahun 2000-an, dan kemudian Festival Film Purbalingga sejak tahun 2007 turut memperkokoh barisan penggiat budaya Banyumas,” kata Dimas Jayasrana, programmer Festival Film Purbalingga, yang merintis pembuatan film lokal Banyumas.

Film-film lokal di situ memang akhirnya berwajah sangat Banyumas. Tak hanya mengangkat kehidupan, problem, dan lingkungan lokal, mereka tak sungkan-sungkan merayakan bahasa ”ngapak-ngapak”. Ini tentu menyempal dari wajah seragam film nasional yang kekota-kotaan atau tayangan sinetron di televisi yang mengumbar kemewahan.

”Lewat film, kami menjadi merasa percaya diri sebagai wong Banyumas,” kata Amrizal (15), penggiat film dari SMA I Bogasari, Purbalingga.

Kerakyatan

Kini, masyarakat setempat terus mengentalkan jati dirinya sebagai wong Banyumas. Dalam proses itu, mereka memperoleh hal-hal positif yang dulu tenggelam.

Bahasa ”ngapak-ngapak” yang sempat dicap rendah itu, misalnya, ternyata sebenarnya justru merupakan bahasa Jawa yang lebih asli. Menurut Budiono, dalam buku Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak (LKIS, 2008), bahasa itu termasuk Jawidwipa atau bahasa Jawa masa awal.

Bahasa itu masih mempertahankan akhiran vokal ”a”, mirip lafal aksara hanacaraka. Konsonan diucapkan dengan tajam dan tegas. Kosakatanya tak banyak mengenal kelas, lebih berkisar pada ngoko lugu.

Ini berbeda dengan bahasa Jawa Solo dan Yogyakarta yang berakhiran ”o”. Bahasa yang dicap adiluhung ini adalah bahasa bandhekan, hasil perkembangan lanjutan dari bahasa Jawa asli. ”Bahasa ini tumbuh pada zaman Kerajaan Pajang (abad ke-16),” catat Budiono.

Gairah kebangkitan budaya Banyumasan akhirnya membebaskan mereka dari kungkungan budaya keraton. Dengan perilaku dan bahasa yang egaliter, terbuka, dan apa adanya, mereka menemukan diri sebagai rakyat yang bersahaja. Ini berbeda dengan budaya keraton yang kompleks, penuh eufimisme, dan berkelas sosial yang rumit.

”Spirit budaya Banyumas itu sangat berorientasi pada kerakyatan. Ini modal baik yang bisa dimatangkan untuk membangun demokrasi di negeri ini,” kata Ro’fah Mudzakir, pengamat sosial asal Banyumas yang menjadi kandidat doktor di School of Social Work, Montreal, Kanada.

Jumat, Juli 02, 2010

Budaya Premanisme Ancam Kebebasan Pers?

Budaya premanisme ternyata
bukan hanya membayangi para
pejalan kaki. Para premanisme
belakangan ini juga mulai
membayangi pers dalam bekerja.
Mereka pun melakukan
metamorfosis dengan lebih
profesional.
Masing ingat dalam ingatan kita
yakni pendudukan kantor harian
Indopos di Graha Pena,
Kebayoran Lama, Jakarta selatan,
pada Selasa 20 Desember 2005
lalu sekira pukul 21.30 WIB.
Penyerangan ini diduga setelah
media cetak itu menurunkan
tulisan tentang aktifitas Hercules
setelah tidak lagi berkuasa di
Tanah Abang. Hercules menilai
tulisan itu menyudutkan dirinya
karena selama ini ia mengaku
tidak pernah berbuat kejahatan
ataupun perbuatan lain yang
merugikan umum di kawasan
Tanah Abang.
Saat itu Herkules dan beberapa
temannya datang berusaha
mencari wartawan yang menulis
berita tersebut. Namun karena
tidak bertemu mereka
menyandera sejumlah wartawan
yang sedang bekerja.
Sejumlah wartawan yang
menolak untuk tidak mematikan
komputer mandapat
penganiayaan, bahkan salah
seorang wartawan dirawat di RS
Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta
Selatan.
Kasus terbaru yakni pendudukan
media oleh sejumlah orang di
kantor stasiun televisi TPI, Taman
Mini Indonesia Indah, Jakarta
Timur pada Sabtu 26 Juni siang.
Sejumlah orang datang ke kantor
tersebut dan melakukan
pemasangan sejumlah poster.
Meskipun mereka tidak melakukan
tindakan kekerasan, namun
mereka memasuki pekarangan
orang tanpa izin.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI) Imam Wahyudi
mengatakan, peristiwa
pendudukan paksa seperti
kemarin mestinya tidak dilakukan
karena akan berdampak buruk
kepada masyarakat.
Terlepas apakah sengketa tersebut
masuk ke ranah pribadi atau
bukan, namun hal tersebut dapat
mengancam kebebasan
berekspresi. Kini dunia jurnalis
semakin terancam dengan
munculnya budaya kekerasan.
Cara kekerasan seperti tidak
seharusnya kembali terjadi. Jika ini
terus bermunculan, dikhawatirkan
akan ada lagi pihak yang kritis dan
terbuka. Dan ini akan
membungkam kebebasan Pers
dalam memberitakan sebuah
kebenaran.