Negara ini memang kaya akan cerita legenda, hampir di setiap daerah seantero Indonesia ini mempunyai legendanya masing-masing, bahkan untuk air terjun sekalipun cerita legenda itu begitu melekat kepada pesona alam yang yang satu ini.
Entah anda ingin mempercayainya atau tidak kebenaran dari suatu cerita legenda, akan tetapi yang jelas beberapa air terjun di bawah ini sarat akan cerita sebuah legenda yang diyakini atau dianggap oleh masyrakat yang tinggal di sekitaran air terjun pernah terjadi di masa lalu
Air Terjun Nglirip: Putri yang Patah Hati
Dibalik gemerincik air yang jatuh silih berganti di Air terjun Nglirip Desa Mulyoagung, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, terdapat sebuah cerita legenda Nglirip. Alkisah legenda itu bermuara dari pertemuan salah satu Adipati Tuban di zaman sebelum kerajaan Majapahit dengan seoarang wanita cantik.
Saat itu adipati kepincut dengan kecantikan gadis desa anak dario tokoh masyrakat setempat. Sakin terpesonanya gadis perawan itu akhirnya dipinang dan dijadikan istri untuk yang kesekian kalinya. Meskipun menjadi istri adipati hingga memiliki anak perawan, tapi entah kenapa ia tak mau diboyong ke pendapa kadipaten.
Eh, ternyata belakangan diketahui bahwa gadis yang telah dinikahinya itu memiliki kekasih lain yang bukan dari kalangan ningrat alias rakyat jelata. Namun naas, hubungan asmaranya itu ditentang orangtuanya, baik dari ibunya maupun ayahnya sang adipati. Sang gadis akhirnya minggat dari rumah apalagi setelah mengetahui kekasihnya yang konon bernama Joko Lelono itu tewas dibunuh prajurit kadipaten atas perintah ayahnya.
Sang putri pun memutuskan untuk bertapa di salah satu goa di balik air terjun di tengah hutan, air terjun Nglirip. Putri yang patah hati ini menutup diri menolak ditemui siapapun. Putri yang bertapa itu kemudian disebut putri Nglirip dan masyarakat meyakini, putri Nglirip akan marah jika rumahnya di sekitar goa air terjun Nglirip dipakai pacaran.
Air Terjun Carang Kuning
Agak sediki berbeda dengan Air Terjun Nglirip, walaupun Air Terjun Carang Kuning ini juga diambil dari legenda seorang putri, namun kisah putrinya tidak setragis air terjun yang berada di daerah Tuban itu. Nama air terjun yang terletak di Lumajang ini diambil dari nama seorang putri pada zaman kerajaan Majapahit yang sering mandi di bawah air terjun tersebut.
Nama putri itu dikenal dengan Putri Carang Kuning. Entah karena mempunyai kulit kuning langsat seperti kebanyakan putri-putri raja atau kedekatan dengan simbol tempat itu sehingga dijuluki carang kuning pasalnnya di dekat lokasi air terjun banyak ditumbuhi oleh pohon bambu kuning. Kata “carang” berarti ranting-ranting bambu, kata “kuning” yang berarti simbol warna dari bambu.
Air Terjun Songgolangit: Berawal dari kisah tragis sepasang Pasutri
Alkisah, hidup seorang jejaka yang berasal dari desa Tunahan yang menjalin cinta dengan seorang gadis cantik asal Dukuh Sumanding Desa Blucu Kecamatan Kembang. Jalinan cinta mereka begitu kuat hingga berlanjut ke jenjang perkawinan. Di sini diceritakan bahwa antara desa Tunahan dan desa Blucu terbentang sungai . Pada zaman dahulu seorang laki-laki melamar seorang perempuan harus membawa perabotan dapur seperti wajan, piring, gelas, dan lain lain . Serta membawa hewan piaraan kerbau, sapi, atau kambing.
Pada suatu fajar si isteri bersiap menyiapkan makanan pagi untuk si suami tercinta. Dalam penyediaan sarapan tersebut si isteri kurang hati-hati sehingga menimbulkan suara-suara alat dapur yang saling bersentuhan. Sang mertua (ibu si isteri) menegur anaknya “Ojo glondhangan, mengko mundhak bojomu tangi” atau dalam bahasa Indonesia “Jangan gaduh, nanti suamimu terbangun”. Rupanya si suami salah mendengar “Kerjo kok glondhangan, rumangsamu barange bojomu” atau dalam bahasa Indonesia “Kerja kok gaduh, memangnya barang bawaan suamimu”.
Pada saat itu juga si suami itu merasa tersinggung dengan perkataan sang mertua itu, kemudian pada tengah malam kedua pengantin tersebut berniat pergi dari rumah untuk pindah ke tempat asal suami dengan mengendarai pedati/gerobak yang ditarik oleh sapi. Nah di malam hari buta, pedati yang mereka naiki ternyata salah jalan hingga tanpa mereka sadari pedatinya masuk jurang (sekarang air terjun Songgolangit yang berada di Jepara) dan pasangan pasutri itu pun hilang dalam kegelapan jurang yang dalam.
Air Terjun Coban Rondo
Air terjun yang Kecamatan Pujon di Pegunungan Panderman Kota Batu, Jawa Timur punya cerita yang rada sedikit menyedihkan perihal asal usul namanya. Alkisah, konon dulu ada sepasang pengantin baru yang bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi dan Raden Baron Kusuma dari Gunung Anjasmoro. Nah, saat usia pernikahan mereka mencapai 36 hari, Dewi Anjarwati mengajak suaminya itu untuk berkunjung ke Gunung Anjasmoro. Mendengar niat tersebut, kedua orang tua Dewi Anjarwati melarangnya karena usia pernikahan mereka yang masih baru Tetapi keduanya bersikeras untuk berangkat dengan segala resiko apapun .
Dalam perjalanan mereka dikejutkan dengan kehadiran Joko Lelono yang tidak jelas asal-usulnya. Joko Lelono terpikat dengan kecantikan Dewi Anjarwati dan berusaha merebutnya. Perkelahianpun tidak bisa dihindarkan, kepada punokawan yang menyertaimereka Raden Baron Kusuma meminta agar Dewi Anjarwati disembunyikan disuatu tempat yang ada Cobannya (air terjun). Dalam perkelahian itu Raden Baron Kusumo dan Joko Lelono sama-sama tewas. Karena kematian suaminya Dewi Anjarwati menjadi janda (dalam bahasa Jawa disebut Rondo)
Sejak saat itu air terjun tempat Dewi Anjarwati menunggu suaminya kembali dari perkelahian disebut dengan Coban Rondo. Konon katanya batu besar yang ada dibawah air terjun Coban Rondo adalah tempat duduk sang putri.
Cinta budaya sendiri
komunitas seni dan budaya mulai Sabang sampai Merauke, dari berbagai alat musik, tari, senjata tradisional untuk bentuk-bentuk adat dan budaya masyarakat
Selasa, November 13, 2012
Legenda Dibalik Air Terjun di Indonesia
Diposting oleh Unknown di 21.10 0 komentar
Senin, November 12, 2012
BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH
Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.
Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.
Diposting oleh Unknown di 21.30 0 komentar
BATU MENANGIS
Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, "Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?"
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
"Bukan," katanya dengan angkuh. "Ia adalah pembantuku !"
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
"Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?"
"Bukan, bukan," jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. " Ia adalah budakk!"
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.
"Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia...."
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
" Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu...Ibu...ampunilah anakmu.." Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut " Batu Menangis ".
Diposting oleh Unknown di 21.30 0 komentar
Minggu, Oktober 10, 2010
Advice on Building Company Culture
People spend a lot of time talking about "company culture" in Silicon Valley. What does it take to create the right kind of culture? How can you maintain that culture? Do you need a mission statement? Should you have a mascot? At first blush it sounds like a bunch of mushy-gushy nonsense. But every great company I've had the good fortune to work with has maintained a strong, independent, identifiable culture. And that culture has served to unify and energize the company and its employees.
One thing that is certain, no two company cultures are the same. Even successive companies built by the same people, like children born of the same parents, come out a little bit different. Some companies are playful and fun. Their employees jam in bands together, wear bright colored company clothing, model for corporate brochures. Other companies are intense and driven. Their employees appreciate complete transparency, celebrate each increase in conversion, work after dinner on Friday nights. No one culture is better than another. Whatever motivates, energizes and inspires your employees to build a big company over the long run, is just the culture you are looking for.
So what does it take to build a strong culture? That's a tough question. And one that is rarely tackled systematically. Tony Hsieh takes on the topic in his new book "Delivering Happiness," in which he gives a great account of the many things that he did to make Zappos' corporate culture flourish. And in a recent talk given by Scott Weiss, former CEO of IronPort, he enumerated the many things that he did maintain a strong and unified culture at IronPort. Scott is a widely respected leader and CEO, and one need look no further than his list to understand why -- Scott suggests the following 20 rules of thumb while building a company for 0 to 250 employees:
Interview every new employee (until 50 then interview everyone that will manage others)
Spend 30 minutes per week on Mondays talking to new employees as part of their first day. Stop by their desk within a month to see how things are going.
Have lunch with every employee (After 50 you can take 2 out at a time) and get to know them not only by name but some details about them.
Hold at least one all hands meeting (at least two execs should speak, not just you) every quarter
Go over the real board slides after every board meeting – let everyone know what was discussed.
At every meeting with all employees, you must set aside 30 minutes for questions and press for no fewer than 5.
An email (or internal blog) to all after every customer trip, conference attended or major news from a competitor e.g. notes from the road
Personally roll out the values, strategy, and history of the company during a comprehensive employee orientation within the first 90 days.
Attend every company function, event and party as though you are the host
Review every significant communication to ALL and ask your team to review yours before it goes out.
Give a performance review to your direct reports at least twice per year, spending no less than 5 hours preparing each person’s review and at least an hour giving it. Get 360 feedback in person.
Set annual and quarterly goals (between 2-5 is about right although I prefer three) as a company as well as each individual employee.
Promote mainly from within and always based solely on performance.
Personally roll out the performance review process to everyone – you are the lead speaker, not human resources.
Emphasize "speaking up" as a value every time you get the chance (e.g. interviews, evaluations, all hands, employee orientation and lunches)
Follow the rules e.g. fly coach, park in the back lot, have a modest office
Constantly demonstrate that no task or chore is beneath you. E.g. Fill the coke machine, clean up after a group lunch, pack a box, and carry the heavy crap.
When a team has to work a weekend, you need to be there too - even if it's just to stop by and buy them a meal to show your appreciation.
When something really goes wrong, you need to take all the blame.
When something really goes right, you need to give all the credit away.
I couldn't agree more with Scott's suggestions. Company culture starts from the top and can only thrive if it is promoted and supported at every cross-road. But, it is also a ton of work. When I suggest to Scott that it was a huge time commitment to deliver on all of these recommendations, Scott responded, "it was very time intensive but totally worth it... I firmly believe that if you want to have a culture where employees contribute broadly to solving problems outside of their area, it starts with the CEO being approachable/authentic and someone who pays attention to the people ecosystem. Employees then need to be current on what the companies problems are and then constantly encouraged to help solve them."
Great advice all around. Creating the right company culture is hard but invaluable. My thanks to Scott for sharing his thoughts on the topic.
Diposting oleh Unknown di 22.08 0 komentar