Pages - Menu

Senin, Juni 21, 2010

Memahami Budaya Malu Jepang

Budaya
malu (shame culture) sejatinya
merupakan sikap dan sifat bangsa
Timur/Asia termasuk kita. Intinya
merupakan wujud hati nurani yang
benar, bukan hanya di permukaan
saja atau cari-cari publisitas saja.
Marilah kita menelsuri sikap hidup
(way of life) dan dasar falsafah hidup
masyarakat Jepang. Falsafah kuno,
Konfusianisme yang berasal dari
China banyak diserap para pendidik
besar Jepang, sebut, mulai dari
Baigan Ishido yang hidup dalam
eranya Edo (1600-1867)
menyampaikan pada masyarakat
Jepang prinsip hidup dalam
berinteraksi bisnis :
1.Seorang pengusaha sejati
memperoleh laba untuk dirinya dan
untuk orang lain. Jadi bukan egoistik
dasarnya,
2.Jangan memaksa pelanggan
membeli dengan menyembunyikan
produk/jasa yang justru disukai
pelanggan,
3.Usahakan hanya menjual produk/
jasa yang memberi manfaat
(beneficial) pada para pelanggan.
Sampai kinipun, bagi masyarakat
Jepang moral/akhlak konsep rinri
(bertata-krama), jiwanya dari China
kuno. Ajaran Konfusianisme di
Jepang sebagai falsafah hidup
dijunjung tinggi sebagai panduan
yang menjiwai identitas dan
tanggung jawab tidak hanya dalam
keseharian keluarga, tapi juga dalam
keseharian pelayanan brokrasi dan
kelincahan bisnis/mencari untung
dengan pertanggungjawaban sosial.
Petuahnya dijunjung tinggi dan
diwujudkan sebagai panduan
perilaku bisnis sampai sekarang di
sana, meskipun tidak eksplisit. Yang
terhitung dalam ‘rinri’ intinya sebagai
pemahaman tentang respek dan
rasa malu. Respek berarti tahu diri
dan menghargai orang lain tidak
hanya dalam keseharian keluarga,
tapi dalam interaksi bisnis antara
pengusaha dan masyarakat pasar.
Pada gilirannya, mereka yang tidak
memiliki rasa malu dianggap
memiliki kualitas minimal (minimum
quality of a human being).
Keberingasan dan kekejaman dalam
hidup sebagai banyak dipraktikkan
Barat sangat berlawanan dengan
sikap hidup dasar (way of life)
Jepang. Permusuhan dan
kekejaman dalam berbisnis dan
interaksi sosial ujung-ujungnya
merupakan kesalahan fatal.
Filsuf kuno Konfusius sudah zaman
dulu mengungkapkan secara halus
berikut ini “... kesalahan mendasar
kita adalah mempunyai kesalahan
dan tidak sudi memperbaikinya (the
real fault is to have faults and not to
amend it). ” Setiap kali seorang
Jepang membuat kesalahan fatal,
karena malu menggugat diri dengan
melakukan meditasi dan kemudian
memperbaiki diri atau
mengundurkan diri bahkan ada
yang sampai ber-harakiri (bunuh
diri), karena rasa malu.
Bagaimana kita? Dalam sikap dan
tingkah laku tergesa-gesa, apa
masih sadar dan mau menjiwai
budaya malu tatkala bohong atau
dengan muka sok paling jujur
berhadapan dengan kawan atau
lawan bicara, dan sampai hati
menyalahkan tanpa mau
menghargai/mendengar dulu sikap
kawan atau pandang lawan bicara,
hanya demi kemenangan uang?
Setiap anggota masyarakat harus
berani dengan fokus menatap
cermin setiap pagi sebelum sarapan
dan malam sebelum tidur selama
60 detik/satu menit, mengugat diri
dan bertanya yang ada di cermin
masih menghayati etika atau sudah
luntur budaya malunya ?
Terungkap sekalipun tidak ekspilisit
membangun saling percaya dalam
era keterbukaan dalam masyarakat
kecil sampai internasional, makin
sulit dan rumit. Yang seringkali
menonjol justru adalah saling
mencurigai (mutual distrust), antar-
pelaku organisasi sipil dan bisnis,
antar-berbagai kalangan masyarakat
sipil (civil society), antar-masyarakat
pasar dengan bisnis, sekalipun
dipolesi dengan senyum simpul
yang tampak tawar.
Kembali ke dasar-dasar kehidupan
manusia yang harmonis berarti
merupakan langkah utama
mereformasi diri, tanpa banyak
gebyar-gebyar/publisitas polesan.
Tegasnya dalam arti dari perilaku
saling mencurigai, kembali
membangun rangkaian saling
mempercayai (from a series of
distrust to a network of trust).
Dalam era yang banyak didengung-
dengungkan sebagai era globalisasi
yang patut disadari globalisasi tidak
berarti uniformitas menurut tafsiran
pencetusnya istilahnya, yakni
kalangan elit Amerika. Dalam tradisi
teori mereka, pasar bebas dalam arti
yang kuat menguasai yang lemah,
dan istilah moralitas, sistem nilai
etika, masing-masing individu
hanya dipermukaan saja.
Merasionalkan egoisme Barat
sebagai prinsip “untuk saya dulu
untungnya dan manfaatnya, anda
nanti nanti saja atau biarlah anda
menderita fisik dan psikis saja ”. Lalu
dengan keterbukaan sebagai
dampak kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, apa kita
terus menjiplak dengan
membiarkan gejala egoisme
tersebut dalam masyarakat kota dan
terus menjalar ke pinggiran kota
(sub-urbans) dan desa?
Dalam lokasi masyarakat dengan
interaksi sosial yang makin terbuka
meluas, tenggang rasa pada orang
lain, sejatinya merupakan salah satu
kunci yang lebih bermutu.
Walaupun realita dunia yang makin
terbuka, tantangan terus menerus
menggugat diri masing masing
terutama yang hidup di kawawan
kota dan pinggiran kota (sub-urban).
Mengapa dalam era keterbukaan dan
inovasi informasi komunikasi
melalui sarana Internet, facebook
dan twitter yang serba cepat, ada
yang sampai hati sengaja lupa diri
demi egoisme ala Barat
menjatuhkan martabat orang lain
yang ujung-ujungnya diri sendiri?
Oleh karena itu dalam setiap
kehidupan keluarga dan
bermasyarakat secara kontinu
sehari-hari dengan sikap pandang
etis ini masin-masing anggota
masyarakat yang dilayani merasa
dipercayai dan sebagai timbal balik
mau tulus mempercayai dengan
membalas budi dan jasa mutu
sesama dalam interaksi sosial.
*) Bob Widyahartono MA
(bobwidya@cbn.net.id) adalah
pengamat ekonomi bisnis Asia;
Lektor Kepala Fakultas Ekonomi
Universitas Tarumanegara (FE Untar)
.

0 komentar: