Pages - Menu

Minggu, Juni 20, 2010

Aturan Sosial Dalam Pandangan Freud

Proses terbentuknya aturan sosial
adalah topik kajian yang
mempesona bagi pengkaji ilmu-
ilmu humaniora dan budaya.
Sigmund Freud adalah salah
seorang pemikir dari disiplin
psikologi yang ikut ambil bagian
menjawab bagaimana aturan sosial
terbentuk. Dalam tulisan ini penulis
memaparkan bagaimana
pandangan Freud terkait topik aturan
sosial. Namun agar tidak terjadi
lompatan yang sangat jauh,
sepatutnya dipahami terlebih dahulu
prinsip-prinsip mendasar pemikiran
Freud yang sifatnya sangat
individual, tidak langsung pada
ranah sosial.
Secara garis besar, Freud
menyampaikan beberapa prinsip
mendasar. Pertama, individu adalah
entitas yang terus-menerus
berdinamika –atau bisa disebut pula
berkonflik. Kedua, perilaku individu
merupakan representasi dorongan-
dorongan ketidaksadaran. Dorongan
ketidaksadaran yang dimaksud
Freud misalnya dorongan seksual,
dorongan menyakiti orang lain,
dorongan makan, dan sebagainya
yang sifatnya tidak disadari. Ketiga,
keluarga adalah sistem pertama
yang membentuk perilaku individu.
Keempat, keberhasilan
perkembangan seksual masa kanak-
kanak berpengaruh signifikan pada
perilaku seksual individu di
kemudian hari.
Prinsip-prinsip tersebut rupanya
menjadi dasar bagi Freud untuk
menjelaskan pembentukan dan
fungsi aturan sosial. Menurutnya,
aturan-aturan dalam kelompok atau
masyarakat dibentuk untuk
meresistensi (menekan) dorongan-
dorongan ketidaksadaran atau
merupakan cara menyamarkan
(defence mechanism) dorongan-
dorongan ketidaksadaran. Dalam
buku Totem dan Taboo (2002a),
Freud menguraikan panjang lebar
aturan-aturan pada suku-suku
primitif yang menurutnya
merupakan alat resistensi. Di
antaranya adalah larangan
hubungan/pernikahan sedarah
(inses).
Pada Suku Aborigin misalnya, laki-
laki pelaku inses dikenai hukuman
mati dan yang perempuan dikenai
cambuk atau tombak. Di Pulau
Leper, Kepulauan New Hebrides,
seorang anak laki-laki diharuskan
meninggalkan rumah pada usia
tertentu. Mereka boleh mengunjungi
rumah untuk makan hanya jika
saudara perempuannya tidak ada.
Perempuan harus menjauh atau
berpaling menyembunyikan diri jika
bertemu saudara laki-lakinya.
Mereka berdua dilarang saling
mengikuti. Bahkan tidak boleh
menyebut nama satu sama lain atau
menyebut kata yang memiliki unsur
nama masing-masing. Larangan
inses berlaku pula pada ibu, antara
lain mereka dilarang memberikan
makanan kepada anak laki-lakinya
secara langsung dan hanya boleh
memanggil mereka dengan nama
yang ditentukan oleh hukum adat.
Larangan tersebut menurut Freud
adalah alat resistensi dorongan
seksual pada masa kanak-kanak.
Suku-suku primitif telah
berpengalaman akan adanya hasrat
berhubungan seksual dengan
orang-orang terdekat, antara lain ibu
dan saudara perempuan, pada anak
laki-laki. Hasrat tersebut sebetulnya
sudah direpresi dengan aturan
keluarga. Namun demikian, ia masih
dianggap berbahaya, oleh karena itu
harus diresistensi dengan aturan
yang lebih kuat. Inilah yang
melandasi larangan inses (Freud,
2002a).
Dalam masyarakat primitif dikenal
pula taboo, yaitu kewajiban
melaksanakan ritual untuk objek-
objek tertentu serta larangan
mengadakan kontak dengannya.
Antara lain, ritual menyucikan benda
pusaka, larangan bertemu orang
yang sedang menstruasi, larangan
mengenakan baju orang yang
sudah meninggal, larangan duduk di
bawah pohon beringin, dan
sebagainya. Freud menilai dasar
aturan-aturan tersebut adalah
kepercayaan akan adanya kekuatan
berbahaya (setan) yang
tersembunyi dalam objek-objek
tertentu. Suku-suku primitif sangat
takut pada kekuatan-kekuatan
tersebut. Itu sebabnya mereka
membuat ritual khusus dan
membuat larangan mengadakan
kontak dengan objek-objek yang
dianggap berbahaya (Freud, 2002a).
Freud melihat taboo sama dengan
gejala neurosis kompulsif, di mana
penderita mempunyai ketakutan luar
biasa pada objek-objek tertentu,
padahal tidak ada kekuatan apa pun.
Mereka mempercayai bahwa benda-
benda bisa mencelakakan jika
disentuh atau diperlakukan tidak
baik. Neurosis kompulsif atau fobia
menyentuh dalam temuan
psikoanalisis adalah bentuk
kembalinya dorongan menyentuh,
biasanya terhadap bagian-bagian
khusus, pada masa kanak-kanak.
Dorongan itu dianggap tidak baik,
oleh karenanya harus dihambat.
Kerja dalam sistem taboo pun
demikian menurut Freud (Freud,
2002a).
Freud menyebut taboo sebagai
bentuk defence mechanism pula
(Freud, 2002a), misalnya terlihat
pada taboo yang diberlakukan pada
raja. Di Jepang misalnya, seorang
raja harus ditandu, karena jika kaki
menyentuh tanah, martabat dan
kesucian mereka akan tercemar.
Rambut, jenggot, kuku, dan apa
yang melekat di seluruh bagian
tubuh raja dipercaya memiliki
kesucian. Orang biasa tidak boleh
memotongnya kecuali raja dalam
keadaan kotor dan itu harus
dilakukan saat raja tidur malam.
Alasannya, mengambil di malam
hari berarti mencuri, dan pencuri
tidak bisa mencemari kesucian raja.
Raja Jepang jaman dahulu
diwajibkan duduk berjam-jam
setiap pagi tanpa menggerakkan
tangan atau kaki, karena jika mereka
melakukan tindakan itu, berarti tidak
mampu menjaga kedamaian dan
ketenangan kerajaan.
Aturan-aturan serupa terjadi pula
pada pendeta. Di Roma misalnya,
Pendeta Agung Jupiter tidak
diperbolehkan menunggang atau
melihat kuda dan orang bersenjata,
dilarang memakai cincin tanpa
sambungan, mengenakan simpul di
pakaian, menyentuh tepung
gandum atau ragi, menyebut nama
kambing dan anjing, dan dilarang
memakan daging mentah, buncis,
dan tumbuhan ivy. Pendeta agung
hanya boleh dicukur oleh orang
bebas. Itu pun harus menggunakan
gunting perunggu. Rambut yang
lepas dan kuku mereka yang
terpotong harus dikubur di bawah
pohon tertentu, tidak boleh
menyentuh orang mati, dan
dilarang keluar tanpa penutup
kepala.
Suku-suku primitif menyebut taboo
adalah bentuk perlindungan,
penghormatan, dan hak istimewa.
Tetapi tidak demikian dalam
pandangan Freud. Freud melihat
taboo adalah manifestasi kebencian
tak sadar kepada orang yang dilekati
(bisa raja, pendeta, atau kepala suku)
. Kebencian itu diawali oleh rasa
cemas akan datangnya kondisi
buruk dan rasa tidak percaya bahwa
raja, pendeta, atau kepala suku akan
melindungi rakyatnya. Kecemasan
dan ketidakpercayaan itulah yang
menyebabkan kebencian dan
kemudian dimanifestasikan dalam
bentuk pelekatan taboo yang super
ketat (Freud, 2002a). Dengan kata
lain, taboo adalah sarana untuk
menghukum sekaligus menjaga
agar orang-orang yang memegang
fungsi melindungi tidak membelot.
Di sini Freud memberikan satu lagi
jawaban dibentuknya aturan sosial,
yaitu menyamarkan keinginan
ketidaksadaran.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan
di atas, maka bisa diambil
kesimpulan sebagai berikut:
pertama, Freud memandang aturan
sosial dibentuk sebagai alat resistensi
terhadap dorongan-dorongan
ketidaksadaran individu. Dengan
kata lain, masyarakat dan individu
selalu terlibat dalam konflik; kedua,
selain untuk kepentingan resistensi,
aturan sosial dibentuk untuk
menyamarkan dorongan
ketidaksadaran individu; ketiga,
keluarga merupakan sistem pertama
yang membentuk ketaatan sosial;
keempat, masyarakat merupakan
kepanjangan tangan keluarga dalam
menjalankan fungsi represi
dorongan-dorongan ketidaksadaran;
kelima, keberhasilan perkembangan
psikoseksual sangat menentukan
perilaku sosial individu.
Kesimpulan ini sedikit banyak
didukung dan diperjelas oleh hasil
pembacaan Shaw & Costanzo
(dalam Sarwono, 2005, hlm.
136-137). Mereka mengungkapkan
pandangan-pandangan Freud
mengenai masyarakat dalam
delapan poin berikut ini:
1. Fungsi masyarakat adalah untuk
menghambat dan me-repress
insting-insting naluriah perorangan.
Ketertiban masyarakat ditentukan
oleh kemampuan ego-ego anggota
masyarakat yang bersangkutan
untuk menyesuaikan diri terhadap
tuntutan masyarakat. Kalau orang-
perorangan diizinkan untuk
sepenuhnya menyalurkan insting
masing-masing, maka tata tertib
masyarakat akan hancur atau
setidaknya kacau.
2. Keluarga adalah aparat dasar dari
masyarakat. Perkembangan anak,
proses sosialisasi, introyeksi nilai-
nilai masyarakat, dan pembentukan
moral dilakukan dalam keluarga.
3. Ego bertugas sebagai perantara
antara batas-batas sosial dan
insting-insting. Untuk itu digunakan
berbagai teknik pertahanan ego dan
kontrol agar kedua pihak
terpuaskan. Sistem ego yang
berfungsi baik merupakan prasyarat
agar seseorang dapat bertahan
dalam suatu lingkungan sosial.
4. Manusia dan lingkungan sosialnya
selalu berada dalam konflik yang
tiada henti. Masyarakat berada
dalam posisi di atas dalam konflik ini
karena individu takut pada ancaman
destruktif masyarakat.
5. Kelompok-kelompok dan
masyarakat terbentuk sebagai
kelanjutan keterikatan libido (hasrat
seksual) anak terhadap orangtuanya.
Keluarga menjadi prototipe
hubungan masyarakat. Orangtua
melindungi, memberi makan, dan
menghukum. Mereka akan menjadi
contoh pemimpin-pemimpin dalam
masyarakat. Perlindungan dan
perawatan mereka mendasari
ketergantungan individu terhadap
pemimpinnya, sedangkan
hambatan dan hukuman terhadap
insting-insting menimbulkan rasa
bermusuhan dan takut.
6. Keadilan sosial timbul dari
perasaan saling membutuhkan dan
saling memenuhi antaranggota
masyarakat. Dasarnya adalah
persaingan untuk merebut perhatian
pemimpin. Bentuk asalnya dalam
keluarga adalah persaingan
antarsaudara (sibbling rivalry).
Menurut Freud, keadilan sosial
adalah bentuk reaksi dari hasrat
ingin memiliki.
7. Pranata-pranata sosial seperti
hukum dan agama dibentuk untuk
melindungi manusia dan
masyarakat dari insting-insting
agresif, bermusuhan, dan seksual.
Pranata ini merupakan pengganti
larangan orangtua.
8. Freud beranggapan bahwa
pembentukan masyarakat tidak
disebabkan oleh adanya satu atau
dua objek (orang) yang mempunyai
kekuatan luar biasa, tetapi
disebabkan oleh sublimasi
(peralihan) dan seksualisasi libido ke
dorongan persahabatan.
Di akhir tulisan ini penulis
menyampaikan bahwa pandangan
Freud hanya salah satu dari sekian
banyak pandangan lain mengenai
topik yang sama. Lebih dari lima
paradigma yang mengajukan tesis
mengenai terbentuknya aturan
sosial. Masing-masing memiliki sisi
relevansi dengan yang terjadi
sehari-hari dan ada pula yang tidak.
Freud sendiri mendapat banyak
kritik dari berbagai sisi, di antaranya
dari sisi keilmiahan, agama, dan
budaya.

0 komentar: