SATU Januari 2009, bukan hanya bermakna bagi Indonesia. Kebumen sebagai salah satu kabupaten di Jateng , juga memiliki hubungan erat dengan 1 Januari 2009. Pada tanggal itu, Kota Kebumen tepat berusia 73 tahun. Artinya, pada 1 Januari 2009 lalu Kebumen merayakan ulang tahunnya yang ke-73.
Pada ulang tahun kali ini, tidak hanya semarak pesta kembang api yang beriringan dengan penyambutan Tahun Baru 2009, namun beberapa agenda kegiatan juga dilaksanakan untuk merayakan hari jadi tersebut. Salah satunya adalah Festival Jamjaneng dan Lomba Ebleg. Festival itu diselenggarakan di Alun-alun Kota Kebumen pada 30-31 Desember 2008. Pesertanya anak-anak SD se-Kabupaten Kebumen.
Festival itu boleh dibilang merupakan sesuatu yang langka dan bisa dinilai sebagai terobosan strategis yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kebumen. Disebut langka, karena festival yang diselenggarakan adalah festival budaya dan mengambil objek budaya lokal. Bukan festival kesenian modern atau kesenian islam; bukan pula festival seni rupa atau seni-seni yang lain.
Hal itu langka, karena seringkali festival budaya dengan budaya lokal sebagai ikonnya digelar di kota kebudayaan seperti Yogyakarta dan Surakarta. Namun, saat ini Kebumen telah mencoba menyelenggarakannya dengan baik pula.
Jantung Kesenian Bagi Kebumen, Janeng dan Ebleg merupakan dua kesenian daerah yang tergolong tradisional. Dua kesenian itu sejak sekian lama telah menjadi jantung kesenian tradisional di kabupaten tersebut.
Dahulu, sekitar 1980-an, sebelum dangdut, musik pop, campursari, dan kesenian modern lain populer, musik Janeng sering dimainkan di mana-mana: di balai desa, kecamatan, pendopo kabupaten, dan di tempat orang punya hajat.
Begitu juga Ebleg. Saat televisi, bioskop, dan media elektronik lainnya belum begitu populer, Ebleg menjadi tontonan laris yang banyak digemari masyarakat Kebumen. Karena itu, Festival Jam Janeng dan Lomba Ebleg yang baru saja diadakan di Alun-Alun Kebumen setidaknya mempu membangkitkan rasa “kangen” masyarakat terhadap dua kesenian tersebut.
Festival Jam Janeng dan Lomba Ebleg menjadi terobosan strategis, setidaknya karena dua hal. Pertama, era globalisasi yang terus bergulir membawa kebudayaan transnasional (budaya asing) ke wilayah Indonesia.
Budaya-budaya asing yang kemudian dikenal sebagai budaya modern itu secara perlahan menggerus budaya daerah. Nuansa kearifan lokal (local wisdom) semakin sirna dan tergantikan dengan gegap budaya modern tersebut. Budaya lokal sangat sulit mempertahankan eksistensinya. Jika ingin bertahan, membutuhkan kekuatan yang ekstra. Jika tidak mampu bertahan, bisa mengambil dua kemungkinan: akan hilang dan tergantikan dengan budaya moderan, atau memilih “perkawinan budaya” antara budaya lokal dan modern atau yang diistilahkan Roland Robertson sebagai glokalisasi. Dalam tataran itulah, posisi budaya lokal saat ini.
Kedua, Kebumen sesungguhnya sedang menggalang kekuatan ekstra untuk mempertahankan kebudayaan lokalnya. Terlebih festival tersebut diadakan untuk anak-anak SD. Itu adalah terobosan luar biasa dan merupakan strategi jitu untuk mempertahankan budaya lokal. Anak-anak SD adalah potensi sekaligus fondasi bagi tegaknya budaya. Anak-anak yang masih dalam taraf belajar, memang sudah seharusnya sejak dini dikenalkan dengan budaya lokalnya. Hal itu agar budaya tersebut mampu merasuk, tidak hanya ke dalam otak mereka, namun juga ke dalam sanubarinya. Dampaknya, tentu saja ketika mereka dewasa. Mereka akan mampu mempertahankan kebudayaan lokal tersebut, karena telah menyatu dengan dirinya.
Kota Budaya Penyelengaraan Festival Jam Janeng dan Lomba Ebleg jika ditengok lebih jauh merupakan sebuah terobosan bagi Kebumen untuk bertransformasi menjadi kota budaya. Potensi kebudayaan Kebumen yang cukup heterogen, sesungguhnya jika dikelola dengan baik akan mampu menghasilkan produk kebudayaan yang bermutu. Di satu sisi, kebudayaan lokal tidak akan sirna. Jadi tidak hanya Yogya dan Surakarta yang kebudayaan lokalnya masih eksis, Kebumen pun bisa demikian. Kebudayaan lokal Kebumen akan mampu bertahan tanpa tergerus kebudayaan modern, dan di kemudian hari bisa menjadi basis bagi Kebumen untuk menuju kota budaya.
Namun untuk mencanangkan kota budaya, tentu saja perlu usaha berlanjut dari Pemkab Kebumen. Usaha tersebut bisa dimulai dari pembinaan generasi. Festival Jam Janeng dan Lomba Ebleg yang baru saja dilaksanakan tersebut, sesungguhnya dalam rangka itu juga. Para generasi Kebumen digembleng dan digodok agar mampu mengenal sekaligus menjadi pelaku kebudayaan lokal.
Namun bukan berarti Festival Jam Janeng dan Lomba Ebleg itu cukup untuk membina generasi. Perlu ada follow-up, misalnya dengan menyelenggarakan pentas antarsekolah, lomba, menampilkan pada hajatan warga, maupun pada hajatan sekolah, seperti perpisahan dan lain-lain.
Di tingkat non-sekolah juga perlu dibina, misalnya melatih para pemuda dengan kesenian lokal. Lalu mereka dibuatkan organisasi sebagai payung hukum sekaligus wadah untuk berkreasi. Dalam hal itu dukungan Pemkab jelas menjadi unsur vital, baik itu dukungan pendanaan, penyediaan fasilitas, motivasi, maupun pengayoman.
Selain Pemkab, dukungan dari masyarakat juga sangat menentukan. Masyarakatlah yang semestinya berperan aktif dalam mempertahankan budaya lokal tersebut. Mereka adalah pelaku budaya. Jadi sangat naif jika hanya pemkab yang bergerak, sementara masyarakat diam dan pasif.
Dengan kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemkab, usaha untuk mempertahankan budaya lokal akan makin mudah, dan tentu saja harapan Kebumen menuju kota budaya akan mudah pula diwujudkan.(68)
– Fatkhul Anas, peneliti pada Central for Cultural and Social Studies (CCSS) Kebumen.
komunitas seni dan budaya mulai Sabang sampai Merauke, dari berbagai alat musik, tari, senjata tradisional untuk bentuk-bentuk adat dan budaya masyarakat
Kamis, September 16, 2010
Kebumen Menuju Kota Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar