Pemerintah Jepara mendaftarkan beragam desain benda dan motif ukiran karya warganya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Mencegah pihak ketiga mengklaim sebagai penciptanya.
GAWE besar itu sudah dimulai sejak akhir tahun lalu. Puluhan desain benda hasil perajin Jepara, yang terkenal dengan ukirannya, didokumentasikan oleh Pemerintah Kabupaten Jepara. Difoto dan dibuat berita acara asal-muasal dan deskripsi bentuknya. Sebuah tim khusus dibentuk oleh Bupati Jepara Hendro Martojo untuk berangkat ke Jakarta. Di sana tim itu membawa dokumen karya rakyat Jepara tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Haki). Mereka mendaftarkan hasil karya intelektual perajin ke direktorat tersebut.
Walau sampai kini proses pendaftaran belum rampung, langkah selanjutnya sudah disiapkan Pak Bupati. Hendro akan mendaftarkan lagi benda-benda itu ke lembaga Haki internasional di Swiss. ”Kami sedang menunggu keluarnya sertifikat dari Direktorat Haki untuk mendaftar ke Swiss itu,” kata Hendro pekan lalu. Di Jepara, Hendro juga memerintahkan dibukanya Klinik Haki. Tugasnya, membantu warga Jepara menghadapi semua masalah yang berkaitan dengan pekerjaan mereka, termasuk memberi bantuan dana bagi perajin yang akan mendaftarkan motif-motif ukiran baru ciptaannya.
Ini memang upaya pemerintah Jepara melindungi karya cipta pengukir Jepara dari klaim pihak lain. Masalahnya, beberapa tahun terakhir, diam-diam sejumlah pihak telah mendaftarkan sejumlah bentuk dan motif ukiran Jepara ke Direktorat Haki. Akibatnya, warga Jepara gigit jari. Desain mebel atau motif ukiran yang berpuluh tahun biasa mereka buat turun-temurun tiba-tiba dinyatakan milik orang lain.
Lihatlah yang dialami Aris Munandar, pemilik PT Citra Nuansa Nusantara. Pengusaha itu tak menyangka bahwa kursi taman hasil karyanya, yang dilengkapi dengan ukiran, ditolak pelanggannya di Prancis. Sang pelanggan menyebut motif ukiran pada kursi yang harganya Rp 100 ribu per buah itu sudah dipatenkan pengusaha lain di negaranya. ”Saya kaget mendengarnya,” kata Aris. ”Apalagi dia buyer besar yang biasa membeli ribuan barang,” ujar pria 35 tahun itu.
Nasib lebih buruk dialami Mohammad Salim. Dua tahun lalu pengukir itu dituduh menjiplak bentuk pigura yang sudah didaftarkan seorang pengusaha Inggris, Christopher Harrison, ke Direktorat Haki. Salim tentu terkaget-kaget lantaran bentuk dan motif ukiran pigura itu sudah ada di Jepara sejak berpuluh-puluh tahun silam. Hanya, belakangan kasus ini ternyata berhenti di tengah jalan. Salim selamat, tak berurusan dengan pengadilan.
Salah satu ”pemilik” benda-benda ukiran yang kini jadi buah bibir para perajin Jepara memang Christopher Harrison. Pemilik PT Harrison & Gil yang berlokasi di Semarang ini pada 2004 telah mendaftarkan buku katalog berjudul Harrison & Gil Carving Out A Piece of History ke Direktorat Haki. Dalam buku itu dipampangkan 456 gambar desain mebel khas Jepara lengkap dengan ukirannya, di antaranya kursi, tempat tidur, lemari, dan pigura. Pada 30 Agustus 2006, Direktorat Haki menerbitkan hak cipta atas katalog tersebut dengan nomor 028070.
Akibat pendaftaran itu, para perajin lokal dan pengusaha asing yang berbisnis di Jepara kelimpungan. Mereka seperti ”disandera” katalog itu. Pada 2006, seorang pengusaha Jepara asal Belanda, Peter Nicolaas Zaal, diadukan ke polisi oleh PT Harrison & Gil. Peter dituduh menjiplak salah satu motif ukiran yang ada dalam katalog Harrison.
Peter, yang tak menerima tuduhan itu, lantas membawa kasus ini ke pengadilan niaga. Ia menuntut pengadilan membatalkan hak cipta katalog itu. Tapi upaya ini gagal. Setelah pengadilan niaga menolaknya, Februari lalu putusan yang sama dijatuhkan hakim kasasi Mahkamah Agung. Mahkamah menyatakan tidak punya hak membatalkan hak cipta katalog itu.
Di jalur pengadilan pidana, nasib Peter juga terpuruk. Pengadilan menghukumnya satu tahun tiga bulan penjara. Ia dinyatakan terbukti menggunakan katalog Harrison tanpa izin. Pengadilan banding juga memvonis hukuman yang sama. Kini Peter membawa kasusnya itu ke Mahkamah Agung.
Lembaga swadaya masyarakat Collaboration of Ecology and Center Information to Us (Celcius), lembaga yang membantu perajin Jepara jika terlibat masalah hukum, sudah menelusuri karya cipta dalam katalog PT Harrison & Gil. Hasilnya, menurut Ketua Celcius Didit Hendra Sudardi, sekitar 70 persen dari 456 desain produk yang ada pada katalog Harrison milik perajin Jepara. ”Desain ukiran itu sudah diproduksi massal secara turun-temurun,” kata Didit. Karena itu, bulan lalu Celcius melaporkan Harrison ke polisi. Tuduhannya: melakukan eksploitasi, komersialisasi, dan monopoli folklor Jepara. Adapun Harrison kini raib entah ke mana. Namanya, sejak Februari lalu, sudah dimasukkan polisi dalam daftar pencarian orang.
Bagi Agus Sardjono, pakar hukum Haki yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pendaftaran katalog seperti yang dilakukan Harrison melanggar Undang-Undang Hak Cipta. ”Yang berhak mendaftarkan katalog yang isinya masuk kategori folklor adalah pemerintah atau masyarakat Jepara,” kata Agus. Agus menegaskan, walau yang didaftarkan katalog, Harrison tetap bisa dianggap bersalah. ”Bisa saja dia mengklaim desain di katalog itu miliknya.” Agus menyesalkan Direktorat Haki yang tidak berhati-hati dalam hal ini.
Tapi Direktorat Haki menyatakan tak bersalah dalam soal ini. Menurut Direktur Hak Cipta Ary Ardanta Sigit, lembaganya hanya melindungi hak cipta pada katalog Harrison, tidak termasuk isinya. ”Desain atau motif dalam katalog itu masih bisa dipakai siapa pun,” kata Ary.
Sunariah, Sohirin (Jepara), Joniansyah (Tangerang)
komunitas seni dan budaya mulai Sabang sampai Merauke, dari berbagai alat musik, tari, senjata tradisional untuk bentuk-bentuk adat dan budaya masyarakat
Minggu, Desember 20, 2009
Berita Kriya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar