Pages - Menu

Selasa, Oktober 13, 2009

Kesenian Dayakan Berkembang di Kebumen

Untuk bisa menikmati pentas kesenian rakyat Dayakan, masyarakat di Kebupaten Kebumen tidak lagi harus mendatangkan para pemain dari Kabupaten Magelang. Pasalnya kesenian yang konon merupakan perbaduan antara unsur kesenian rakyat Nusantara itu sudah mulai berkembang di Kebumen.

Adalah H Tongat Karim (42) warga Desa Kaliputih Kecamatan Kutowinangun, Kebumen yang membawa kesenian yang dikembangkan di lereng Gunung Merbabu itu ke Kebumen. Belum genap setahun ini, dia kemudian membentuk grup kesenian Dayakan “Satrio Budoyo” di desanya.

Tujuannya awalnya tidak lain untuk memberi kegiatan positif pada pemuda di desanya. "Harapannya mereka tidak melakoni hal-hal yang negatif, seperti kenakalan remaja," kepada SM CyberNews, Selasa (21/7).

Pria yang sehari-hari menjadi pengusaha rumah makan tersebut mengaku tertarik terhadap kesenian Dayakan saat dia melihat mereka pentas di Borobudur, Magelang. Dia pun berpikir untuk mempelajari dan mengembangkan kesenian itu di Kebumen. Niat itu pun terwujud, apalagi istrinya yang merupakan orang asli Magelang memudahkan untuk mendatangkan guru kesenian Dayakan ke Kebumen.

Ya, meskipun bernama Dayakan, unsur seni tidak melulu persis seperti suku dayak. Misalnya busana yang dipakai khususnya hiasan justru mirip suku Indian. Namun kesenian Dayakan tersebut sebenarnya hasul dari percampuran berbagai macam kesenian dan kebudayaan di Nusantara. Antara lain, kuda kepang, tari kecak Bali, lutungan,
montholan, hingga Reog Ponorogo.

Adapun instrumen yang dipakai untuk mengiringi tarian juga khas kesenian rakyat yang cukup sederhana seperti bendhe, tanjidor, kendang saron dan gong. Dalam sebuah grup biasanya terdiri dari 13 penari laki-laki dan perempuan yang membawakan peran sendiri-sendiri. Ada yang menjadi kepala suku, tokoh atau rakyat biasa, sesuai dengan lakon yang ditampilkan. Mereka mengenakan kostum yang dirancang sendiri.

"Bagian atas berupa kuluk terbuat dari bulu-buluan hewan. Yang bagus dari bulu merak, namun harganya mahal sehingga diganti dengan bulu menthok yang diwarna-warni," imbuhnya.

Sedangkan kostum pada bagian atas memakai baju rompi dan busana bagian bawah adalah pakaian suku Dayak di Kalimantan. Atas dasar itulah kesenian itu dinamakan kesenian Dayakan. Adapun untuk alas kaki para penari memakai sepatu yang biasa dikenakan tentara atau polisi. Setiap sepatu dipasangi klinthingan minimal 50 buah. Tak heran jika kaki para penari dihentakkan ke tahan terdengar suara gemerincing yang berderak-derak.

"Bunyi klintingannya menambah daya tarik tersendiri," ujar pemilik rumah makan Hijau di Jalan Raya Kebumen-Kutowinangun itu seraya berharap kesenian yang relatif baru itu dapat memperkaya kebudayaan di Kebumen.

Para pemain grup kesenian Satrio Budoyo uja Tongat terus giat berlatih untuk belajar variasi gerakan. Sehingga gerakan yang ditampilkan tidak monoton dan membuat penonton bosan. Bahkan dia juga rela mendatangkan guru tari dari Magelang yang memang sudah berpengalaman.

© suaramerdeka.com

0 komentar: